Harga menginap dihitung per orang, meskipun menempati 1 kamar yang sama. Harga sewa homestay sekitar Rp350-400 ribu/malam/orang, sudah termasuk makan 3 kali/hari. Sedangkan untuk penginapan yang lebih mahal bisa memilih resort dengan harga sewa mulai dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Kami memilih homestay dengan tarif Rp350 rb/malam/orang sesuai dengan budget kami yang pas-pasan. Fasilitas di homestay berupa makan 3x/hari, listrik dari genset menyala mulai jam 6 sore sampai sematinya, kadang jam 9 malam, jam 12 malam atau jam 2 pagi. Cukup untuk sekedar men-charge batere HP dan kamera. Lebih baik bawa kabel kord listrik sendiri kalau gadget yang di-charge banyak.
Kamar mandi disediakan terpisah dari kamar tidur, ada 2 kamar mandi dan 2 toilet yang dipergunakan bersama. Kamar mandinya berlantai pasir dengan batu diatasnya, sehingga air bekas mandi langsung terserap ke dalam pasir. Air untuk mandi diperoleh dari sumur, sedikit asin rasanya karena merupakan air payau. Air tawar untuk minum/masak biasanya diperoleh dari desa terdekat atau dari Waisai. Kami memilih kamar di atas air supaya bisa tidur ditemani suara ombak. Selama 4 malam di homestay, kami sama sekali tidak pernah bertemu dengan nyamuk. Tapi kalau mulai gelap, berbagai macam serangga selain nyamuk (yang saya belum pernah lihat) akan mulai aktif mendekati cahaya lampu. Biasanya di setiap kamar akan disediakan kelambu, meskipun kami tidak pernah menggunakannya. Lotion anti nyamuk/serangga ada baiknya dibawa.
Informasi mengenai harga dan lokasi penginapan bisa diakses di www.stayrajaampat.id. Di situs tersebut dicantumkan info mengenai no telpon, lokasi dan foto-foto homestay. Sebelum booking bisa tanya-tanya dulu ke pemiliknya baik melalui email atau sms/WA. Memang kadang balasnya agak lama karena sinyal yang sering tidak stabil.
Homestay tempat kami menginap lokasinya bisa dikatakan sepi karena disekitarnya tidak ada homestay lain. Desa terdekat sekitar setengah jam menyeberang dengan kapal. Â Bersama dengan kami, ada 4 orang turis asing yang menjadi penghuni homestay, dari Perancis, Polandia dan Denmark. Meskipun bahasa Inggris kami pas-pasan, kami sering ngobrol dengan mereka. Mendengar cerita mereka yang sudah menjelajah Indonesia dan negara lain. Kadang malu juga dengan mereka yang dari jauh sudah menjelajah Indonesia. Tapi di sisi lain, bangga dengan kekayaan Indonesia yang sudah dikenal sampai ujung dunia.
Kami memang tidak memiliki jadwal trip setelah kami berpisah dari open trip tour. Bahkan kami tidak punya rencana selama sisa 5 hari di Raja Ampat mau ngapain.
Kebetulan pemilik homestay seorang dive master dan beberapa kali mengantar turis asing di homestay untuk diving di beberapa spot dekat homestay. Kami bergabung dengan mereka tapi untuk snorkling. Pemilik homestay juga pernah mengajak kami ke desa sebelah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sementara mereka belanja, kami di drop di Pantai Friwen dan dijemput lagi setelah selesai belanja. Trip dadakan yang tidak terjadwal kadang justru menyenangkan.
Sehari sebelum hari terakhir, kami menyewa kapal homestay untuk mengunjungi Arborek Kami sudah mengunjungi desa ini saat bergabung dengan opentrip namun karena sudah terlalu sore, air laut sudah mulai pasang dan arusnya cukup kuat. Beberapa orang mencoba untuk snorkling, namun mereka tidak dapat melihat ikan. Padahal jeti Arborek terkenal dengan pemandangan jutaan ikan di bawah jetinya. Desa Arborek lebih ramai dan banyak juga homestay di desa ini. Saya sempat kaget ketika saya ke toilet umum dan bayarnya Rp10 ribu. Ternyata di desa ini air yang digunakan untuk mandi/toilet berasal dari air tadah hujan karena tidak ada sumur, sedangkan kalau air minum di kirim dari Waisai. Waktu yang pas untuk snorkling di Arborek adalah siang hari ketika air sudah surut dan arusnya tenang. Ikan-ikan dengan berbagai warna dan ukuran akan dijumpai disini. Bahkan ikan-ikannya ada yang tiba-tiba melompat di permukaan.
Akhirnya liburan kami harus berakhir. Kebetulan 2 teman bule kami juga sudah mengakhiri liburannya di Raja Ampat dan sama-sama akan ke Sorong. Hujan tiba-tiba turun ketika kapal meninggalkan homestay. Salah seorang teman berkata bahwa Raja Ampat menangisi kepergian kami. Sebenarnya bukan Raja Ampat yang menangis, tapi hati kami menangis harus meninggalkan keindahan Raja Ampat.