Di luar Eropa, ada lagi yang lebih nyentrik: Mohammed bin Salman (MBS), Putra Mahkota Arab Saudi yang bertindak seperti Menteri Keuangan versi film Dune.
Secara resmi dia bukan menteri, tapi mengatur semua uang lewat Public Investment Fund. Ia ingin mengubah kerajaan minyak menjadi kerajaan futuristik, kota tanpa mobil, proyek megah di tengah padang pasir, bahkan ekonomi metaverse.
Dunia sempat terpesona: "Akhirnya Arab modern juga!" Tapi di balik itu, ada aroma logam dari kekuasaan yang terlalu absolut.
MBS menangkap pangeran-pangeran kaya dan menahan mereka di hotel Ritz-Carlton dengan dalih "anti korupsi." Ia juga terseret kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Dari pahlawan reformasi berubah menjadi simbol otoritarianisme modern. Dunia bertepuk tangan lalu menepuk jidat.
Dan jangan lupakan Larry Summers dari Amerika Serikat. Ia ini contoh klasik ekonom Harvard yang otaknya lebih cepat dari nuraninya.
Sebagai Menteri Keuangan era Bill Clinton, Summers menandatangani deregulasi keuangan yang menghapus Glass-Steagall Act, tembok pemisah antara bank investasi dan bank komersial. Dunia memuji: "Inilah modernisasi finansial!" Lalu datang tahun 2008, dan boom! Bank-bank raksasa tumbang seperti domino.
Film Inside Job menyorot wajahnya tanpa belas kasihan. Summers, sang jenius yang dulu dielu-elukan sebagai arsitek stabilitas, kini dianggap bapak deregulasi yang melahirkan krisis global. Kalau ekonomi adalah teater, maka Summers adalah sutradara yang lupa menulis akhir cerita.
Dari lima tokoh ini, ada satu benang merah yang bisa ditarik: menjadi Menteri Keuangan itu seperti bermain api sambil membaca neraca. Kalau sukses, Anda disebut jenius.
Kalau gagal, Anda disebut gila. Dan sering kali, sukses atau gagal bukan soal benar atau salah, tapi soal waktu.
Varoufakis benar, tapi terlalu cepat. Berlusconi salah, tapi terlalu lama. Sunak terlalu kaya untuk dipercaya. MBS terlalu berkuasa untuk dikritik. Summers terlalu yakin untuk disadarkan.