Walau bukan Menteri Keuangan secara formal, tapi dalam praktik, dialah menteri segalanya: menteri media, menteri pesta, dan menteri utang.
Berlusconi punya filosofi ekonomi sederhana: "Kalau rakyat stres, hibur mereka. Kalau pasar panik, senyumlah."
Maka ia membuka keran fiskal selebar-lebarnya. Italia jadi panggung sirkus dengan defisit sebagai badut utamanya.
Ia memerintah sambil menyanyi, bercanda, dan tentu saja berpesta. Awalnya rakyat terpesona, "setidaknya dia lucu," kata mereka. Namun ketika utang menumpuk dan ekonomi macet, kelucuan itu berubah jadi murka.
Uni Eropa mendorongnya mundur dengan halus tapi tegas. Ia keluar panggung bukan diiringi tepuk tangan, melainkan desahan lega: akhirnya selesai juga.
Dari Eropa lompatlah kita ke Inggris, negeri yang suka teh, cuaca murung, dan istilah fiskal yang rumit. Di sana muncul Rishi Sunak, Menteri Keuangan muda berwajah tenang dan dompet tebal.
Ia lulusan Oxford dan Stanford, menantu miliarder India, dan kalau berjalan di Downing Street, seolah bumi takut kotor menyentuh sepatunya.
Saat pandemi Covid-19, Sunak dianggap pahlawan karena meluncurkan program "Eat Out to Help Out" yaitu subsidi makan di restoran agar ekonomi bergerak.
Inggris yang kelaparan, langsung cerah. Rakyat memuji: "He's our hero!" Tapi beberapa bulan kemudian, varian Delta datang, dan program makan-makan itu dianggap memperparah penyebaran virus.
Begitu pandemi usai, inflasi melonjak dan defisit melebar. Dari "Chancellor of Smiles" ia berubah menjadi "Chancellor of Bills" atau menteri tagihan. Orang mulai muak pada kesempurnaan: kok ganteng, kaya, tapi tetap bikin hidup susah?
**