Fenomena kelebihan likuiditas dalam sistem keuangan Indonesia selama dua tahun terakhir memunculkan paradoks baru dalam kebijakan fiskal dan moneter.
Di satu sisi, data menunjukkan bahwa posisi undisbursed loan atau kredit yang belum terealisasi di perbankan nasional terus meningkat. Pada Semester I 2025, nilainya menembus sekitar Rp2.300 triliun, naik dari kisaran Rp2.100 triliun pada akhir 2024.
Artinya, perbankan Indonesia menyimpan dana dalam jumlah sangat besar yang belum tersalurkan ke sektor riil. Namun di sisi lain, biaya dana atau cost of fund belum turun signifikan, bahkan cenderung bertahan tinggi di kisaran 4-5 persen.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan teoretis dan empiris: apakah sistem keuangan Indonesia benar-benar mengalami kelebihan likuiditas, atau justru terjebak dalam struktur biaya modal yang kaku akibat intervensi fiskal?
Saya mencoba menjawab paradoks tersebut dengan menggunakan pendekatan model dinamis berbasis Vector Autoregression (VAR) untuk mengamati hubungan antara kelebihan likuiditas dan biaya modal selama periode kuartal I 2023 hingga kuartal II 2025.
Variabel utama yang diamati adalah Undisbursed Loan (UL), Loan to Deposit Ratio (LDR), dan Cost of Fund (COF). Sebagai variabel eksogen digunakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI rate) dan kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun pada bank-bank Himbara sejak awal 2025.
Dinamika Likuiditas dan Biaya Modal
Secara teoritis, ketika likuiditas meningkat, dalam hal ini tercermin dari naiknya undisbursed loan, bank seharusnya memiliki ruang lebih luas untuk menurunkan biaya dana.
Pasokan dana yang melimpah akan menurunkan harga dana atau cost of capital karena tidak ada tekanan untuk mencari sumber pendanaan tambahan di pasar. Namun hasil simulasi empiris justru memperlihatkan arah yang lebih kompleks.