Tanggal 15 Agustus 2025, satu peristiwa yang penuh tafsiran terjadi. Jiwa senimannya dipantik oleh musik orkestra mahasiswa UNHAN. Lagu yang dimainkan: "Maumere." Tangannya bergerak, pinggulnya ikut bergoyang.
Ia tidak sendiri. Ada Pak Dolfie, Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi PDIP, yang di setiap rapat kerap tajam mengkritik menteri keuangan. Ada Kuya-Kuya. Ada bapak-bapak, ada ibu-ibu berkebaya kuning dari fraksi lain.
Namun lagu itu riang, penuh Gerak, bertemu dengan suasana kebatinan rakyat yang sedang nyesak. Di luar gedung, hidup kian terhimpit.
Pajak mencekik, biaya pendidikan merangkak mahal, ongkos hidup tak kunjung turun. Maka tarian di ruang dewan menjadi luka di ruang rakyat.
Euforia itu datang setelah Presiden Prabowo menghapus tantiem elit BUMN. Anggota dewan bersorak, berdiri, bertepuk tangan. Tapi rakyat tidak ikut merasa lega.
Bagi mereka, tantiem bukan masalah. Yang terasa adalah harga beras, biaya bensin, cicilan rumah.
Maka, ketika kamera merekam tarian anggota dewan, yang terlihat adalah jarak: satu dunia menari, dunia lain tercekik. Dan publik marah.
Aksi massa pun pecah. 25 Agustus. 28 Agustus. 30 Agustus. Dari jalanan, dari kampus, dari kompleks perumahan yang resah. Seorang driver Ojol, Affan, meregang nyawa.
Solidaritas membuncah. Kendaraan polisi dibakar. Kantor kepolisian, markas Brimob, diserbu. Api menjalar. Di Makassar, tiga staf DPRD meninggal. Seorang polisi gugur.
Massa sulit dikendalikan. Rumah anggota DPR, Sahroni, diserbu. Barang-barang mewahnya dijarah.
Penjarahan merambat ke berbagai tempat. Dari sebuah tarian kecil, api besar menyambar. Dari sebuah lagu rakyat, tragedi politik lahir.