Suatu waktu, di sebuah acara, Eko Patrio, komedian yang kemudian menjadi politisi mengatakan: "Ia lahir dari industri seni, tapi dari kasta terbawah: komedian."
Kalimat itu sederhana, bahkan terkesan sepele. Tapi ia seakan membuka percakapan panjang tentang seni, tentang hierarki, tentang tempat komedi di antara karya-karya yang disebut luhur.
Saya tidak tahu apakah Eko pernah membaca Poetics. Dalam risalah itu, Aristoteles menulis: "Tragedi lebih agung daripada komedi."
Tragedi, katanya, menggambarkan manusia lebih baik daripada kenyataannya, sedang komedi menggambarkan manusia lebih buruk daripada dirinya.
Dari situlah, pandangan lama meletakkan komedi di deretan bawah. Ia dianggap rendah, hiburan rakyat biasa.
Mungkin itu pula yang dimaksud Eko. Bahwa ia berasal dari "kasta terendah." Komedi, meski tak jarang mengandung kritik sosial, dipandang tidak semulia tragedi.
Aristophanes, yang satirnya mengguncang Athena, tetap dicatat sebagai penghibur, bukan penggubah mahakarya seperti Homerus dengan Iliad dan Odyssey. Di era klasik, tragedi memang dianggap puncak seni.
Dengan kata lain, Eko adalah pribadi yang tumbuh dari bawah, dari akar rumput. Ia bukan penyair besar, bukan musisi dengan lantunan agung. Ia seorang komedian.
Dari kasta terendah, ia meniti jalan panjang. Dan mungkin itu pula yang menjelaskan: Eko hari ini bukan pribadi yang final. Ia masih menjadi, masih belajar, masih tumbuh dengan salah, dengan khilaf.
***