Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kedalaman Permintaan Maaf Eko Patrio Ke Rakyat

31 Agustus 2025   07:44 Diperbarui: 1 September 2025   05:56 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Komedian Era Yunani Kuno Aristophanes (Sumber foto Athena24)

Suatu waktu, di sebuah acara, Eko Patrio, komedian yang kemudian menjadi politisi mengatakan: "Ia lahir dari industri seni, tapi dari kasta terbawah: komedian."

Kalimat itu sederhana, bahkan terkesan sepele. Tapi ia seakan membuka percakapan panjang  tentang seni, tentang hierarki, tentang tempat komedi di antara karya-karya yang disebut luhur.

Saya tidak tahu apakah Eko pernah membaca Poetics. Dalam risalah itu, Aristoteles menulis: "Tragedi lebih agung daripada komedi."

Tragedi, katanya, menggambarkan manusia lebih baik daripada kenyataannya, sedang komedi menggambarkan manusia lebih buruk daripada dirinya.

Dari situlah, pandangan lama meletakkan komedi di deretan bawah. Ia dianggap rendah, hiburan rakyat biasa.

Mungkin itu pula yang dimaksud Eko. Bahwa ia berasal dari "kasta terendah." Komedi, meski tak jarang mengandung kritik sosial, dipandang tidak semulia tragedi.

Aristophanes, yang satirnya mengguncang Athena, tetap dicatat sebagai penghibur, bukan penggubah mahakarya seperti Homerus dengan Iliad dan Odyssey. Di era klasik, tragedi memang dianggap puncak seni.

Dengan kata lain, Eko adalah pribadi yang tumbuh dari bawah, dari akar rumput. Ia bukan penyair besar, bukan musisi dengan lantunan agung. Ia seorang komedian.

Dari kasta terendah, ia meniti jalan panjang. Dan mungkin itu pula yang menjelaskan: Eko hari ini bukan pribadi yang final. Ia masih menjadi, masih belajar, masih tumbuh dengan salah, dengan khilaf.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun