Subuh di Palmerah-Jakarta. Jalan masih sepi, hanya lampu redup yang menggantung di tiang besi berkarat, memantulkan cahaya kuning di aspal retak.
Di sebuah kontrakan lembab, Affan sudah bangun sejak lima pagi. Ia duduk di kursi plastik yang kakinya patah sebelah.
Di atas meja kayu kecil, istrinya menyodorkan secangkir kopi pahit. Anak-anak masih tidur, tubuh mereka meringkuk di tikar lusuh. Affan menatap wajah dua anaknya lama-lama, seperti menghitung hari.
Ada semacam kalkulasi sunyi: kontrakan bulan depan 1,2 juta, SPP anak sulung 150 ribu, uang jajan minimal 10 ribu sehari. Angka-angka itu menari di kepalanya, persis grafik defisit yang tak pernah seimbang.
Ia pamit dengan lirih. Motor tuanya batuk-batuk ketika dinyalakan. Di bahu jalan Stasiun Palmerah, ia ngetem.
Menunggu rezeki yang turun dalam bentuk notifikasi di layar ponselnya. Itulah algoritma yang kini menentukan hidupnya, bukan lagi doa, bukan lagi kerja keras, tapi kalkulasi dingin sebuah aplikasi.
Order masuk. Ongkos Rp25.000. Tapi setelah potongan 20-25 persen komisi aplikasi, iuran asuransi, biaya promosi, yang masuk ke dompet digitalnya jauh lebih sedikit.
Inilah hukum tak tertulis ekonomi digital: yang berdering di ponsel adalah ilusi, yang tertinggal di saku hanyalah sisa.
Dalam bahasa pasar modal, Affan hanyalah "underlying asset". Ia bukan pemilik, bukan pemegang saham, tapi fondasi likuiditas perusahaan transportasi online yang sudah go public.
Kapitalisasi pasarnya tumbuh, valuasinya naik, investor tersenyum, CEO-nya berlimpah bonus saham ratusan juta per bulan. Tapi Affan yang tubuhnya menjadi roda penggerak hanya pulang dengan recehan.