Mudah melemah ketika siklus global berbalik. Dalam konteks Indonesia, tanda itu terlihat dari industri pengolahan yang masih belum agresif, padahal sektor ini adalah penentu keberlanjutan.
Kalau kita melihat lebih tajam lagi, ada penjelasan kenapa PMI kita lesu. PMI adalah leading indicator, ia membaca pesanan baru, stok, dan ekspektasi pabrik. Ketika ekonomi tumbuh 5,12% tapi PMI tertekan, berarti pertumbuhan didorong oleh faktor musiman (Seasonal Effect)
Misalnya, belanja pemerintah menjelang kuartal kedua atau ekspor komoditas. Bukan dari ekspansi manufaktur yang berkelanjutan. Dalam bahasa ekonomi makro, demand-pull growth belum sepenuhnya diikuti supply-side response.
Di sisi lain, kita juga bisa membaca pertumbuhan ini sebagai efek dari "konsumsi defensif": rumah tangga masih belanja, ditopang oleh daya beli pedesaan yang terdorong naiknya Nilai Tukar Petani 122,64, serta ekspor nonmigas yang menguat.
Tapi tanpa industri yang menggeliat, pertumbuhan ini rapuh menghadapi tekanan global. Satu guncangan harga komoditas atau perlambatan mitra dagang bisa langsung membuat angka PDB terpeleset.
Jadi, pertumbuhan 5,12% ini indah untuk pidato politik, tapi tidak cukup menenangkan untuk para ekonom yang membaca detailnya. Ini pertumbuhan yang seperti kembang api: terang di langit, tapi cepat hilang kalau tidak ada mesin produktivitas di tanah yang menopangnya.
Untuk menjadikan pertumbuhan 5,12% lebih kokoh, pemerintah perlu beralih dari strategi pertumbuhan berbasis konsumsi dan ekspor komoditas menuju industrialisasi berbasis nilai tambah.
Pertama, perkuat insentif investasi di sektor manufaktur berteknologi menengah-tinggi agar kapasitas produksi naik dan PMI bergerak ke zona ekspansif. Kedua, lakukan reformasi logistik dan energi untuk menurunkan biaya produksi industri, sehingga pabrik lebih berdaya saing di pasar global.
Ketiga, perluasan program hilirisasi komoditas mineral dan pertanian akan menahan volatilitas harga global sekaligus menambah lapangan kerja produktif. Keempat, dorong riset dan inovasi melalui kolaborasi BUMN, swasta, dan perguruan tinggi agar TFP meningkat seperti yang digarisbawahi Solow (1956).
Dengan kombinasi kebijakan ini, pertumbuhan ekonomi bukan hanya terlihat indah di atas kertas, tapi juga terasa di denyut mesin pabrik dan kantong masyarakat secara berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI