Di desa, orang lebih percaya pada mata dan telinga daripada tanda tangan. Di situlah uang harus tahu diri, ia tidak boleh datang dengan banyak syarat, bunga tinggi, atau kata-kata rumit yang hanya dimengerti pegawai bank.
Karena uang, di desa, mestinya bukan soal kekayaan. Ia adalah soal kepercayaan. Soal hidup bisa jalan hari ini, besok, dan minggu depan.
Maka ketika Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) datang membawa gagasan: lembaga keuangan mikro yang tidak dibungkus jas, dasi, dan cicilan menyiksa, warga desa merasa ini bukan utopia.
Ini realistis. Ini bisa mereka bangun dengan tangan sendiri.
Dalam struktur Kopdes MP, lembaga keuangan mikro (LKM) bukan berdiri sendiri sebagai lembaga, bukan pula meniru koperasi simpan pinjam gaya lama yang sibuk memungut iuran, tapi enggan memahami siapa yang sedang butuh dan siapa yang sedang jatuh.
LKM di sini adalah unit usaha dari koperasi, ibarat dapur tempat uang diputar, dibumbui niat baik, dan disajikan untuk menyambung hidup, bukan memperpanjang hutang.
Modelnya mirip Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan syariah seperti yang berkembang di Sidogiri, Jawa Timur. Di sana, lebih dari 3 juta orang menjadi anggota.
Bukan karena bujukan brosur, tapi karena mereka merasa diikutkan, bukan dikendalikan. Dana mereka digerakkan berdasarkan akad bagi hasil, bukan bunga mencekik.
Tahun 2023, aset BMT UGT Sidogiri tercatat lebih dari Rp8 triliun, dan kredit macetnya rendah, di bawah 3%. Mereka menyatu dengan pasar, warung, pesantren, dan rumah-rumah. Mereka hadir, bukan sebagai kantor, tapi sebagai kawan.
Kopdes MP perlu meniru semangat itu, tapi tidak menyalin mentah-mentah. Karena setiap desa punya nadinya sendiri.