Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kopdes MP dan Arsitektur Keuangan Mikro Desa

18 Juni 2025   13:55 Diperbarui: 18 Juni 2025   14:01 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Simpeldesa-foto)

Di desa-desa binaannya, unit LKM ini akan dikelola sebagai jantung likuiditas. Bukan hanya tempat meminjam, tapi tempat menyusun strategi hidup.

Seorang petani bisa mencicil pupuk tanpa harus menjual tanah. Seorang ibu rumah tangga bisa menyisihkan seribu per hari untuk pendidikan anaknya. Seorang pemuda bisa memulai usaha sablon tanpa surat-surat panjang.

Data dari Kementerian Desa PDTT (2024) menyebut: hanya 23% desa yang memiliki akses langsung ke lembaga keuangan formal. Artinya, lebih dari 50 ribu desa hidup dalam sunyi keuangan.

Sunyi yang sering disusupi rentenir. Itu sebabnya, lebih dari 70% pelaku usaha mikro desa masih mengandalkan pinjaman informal, dengan bunga yang kadang tidak masuk akal.

Dalam situasi seperti itu, kita teringat pada Amartya Sen, seorang ekonom peraih Nobel yang pernah menulis dalam bukunya Development as Freedom (1999): "Development is the process of expanding the real freedoms that people enjoy." 

Pembangunan bukan sekadar membangun jalan atau menambah listrik. Tapi membebaskan orang untuk menentukan hidupnya sendiri. Tanpa diburu bunga, tanpa dikejar debt collector.

Ada contoh yang menghangatkan. Di Desa Samiran, Boyolali, warga membangun Lembaga Keuangan Desa (LKD) dengan modal awal hanya Rp120 juta dari patungan dan sisa dana CSR.

Tak ada kantor mewah. Hanya buku besar, kas kecil, dan niat tulus. Dalam waktu 5 tahun, asetnya tumbuh menjadi Rp2,1 miliar, melayani lebih dari 600 kepala keluarga. Mereka tidak hanya memberi pinjaman. Mereka memberi kepercayaan.

Bayangkan jika model seperti ini ditanamkan di jaringan Kopdes MP yang tersebar. Di lima desa saja, bila masing-masing bisa menggerakkan dana bergulir sebesar Rp1-2 miliar, maka dalam tiga tahun, potensi likuiditas internal bisa mencapai Rp10 miliar.

Semua dikelola dengan mekanisme tanggung renteng, kelompok usaha, dan catatan transparan. Tidak perlu agunan rumit. Karena bagi mereka, nama baik di kampung lebih berharga daripada sertifikat rumah.

Dalam satu kesempatan, Hernando de Soto, ekonom Peru dalam bukunya The Mystery of Capital (2000), menulis: "The poor are not poor because they lack assets. They are poor because their assets are not documented." Kemiskinan bukan karena orang desa tak punya sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun