Moli, si anjing tengil di perempatan jalan dekat rumah, galaknya bukan main. Cuma kenapa, saya selalu lewat percuma, tanpa suatu apa. Rada-radanya melihat saya pun dia enek. Apalagi menyalak.
Si Moli bertubuh kerempeng. Tapi tingkanya cengek. Seperti cabai rawit. Lakunya pun banal. Tubuhnya hitam, dekil dengan sedikit warna cekelat di sekitar bokongnya.
Saban hari tidur di kandang berjejabah. Sembari kepala melongok, mata mendilak kiri-kanan, sampai biji matanya tercecer ke bawah setengah menceng, ikuti setiap orang yang mondar-mandir.
Sulungku, setiap lewat rumah di RT II, tempat anjing itu ngetem, selalu menjinjit. Biar Moli tak melabraknya. Sembari sepasang sandal sudah ditangan. Anacang-ancang mau lari.
Entah kenapa, anjing Moli seakan begitu dongkol padanya. Meskipun anak ini tak tahu, senista apa ia di hadapan Moli. Anak ini laksana kain kafan yang tak pernah dicoret sesiapa.
Moli berperangai buruk. Punya tabiat menindas yang lemah. Sebelum ditindas sampai gepeng seperti kerepek Palembang. Digertaknya lebih dulu. Jadilah, saban hari si sulung merasa terancam jiwanya.
Jiwanya menghamba ke Moli. Meski dia cuma binatang tengil. Dibenci orang sekampung. Suka bikin berantakan kantung sampah di perumahan.
Berkali-kali saya bertuah, janganlah kau kalah mental dengan Moli. Kalau dia menyalak, kamu pelototi setengah jongkok. Julurkan kepala, sembari nyalakan bola matamu laksana senter 12 baterai. Mentalnya bisa roboh hingga rata ke tanah.
Dia cuma bisa berkaing-kaing, tanpa melakukan suatu apa. Memang ada anjing tipe begitu. Cuma menyalak, namun ciut kalau digertak sedikitpun. Bisa lari terbirit-birit setengah melerok ke arahmu.
Entah kenapa, setiap anjing lari ketakutan, kepalanya selalu tengok ke belakang. Bisa dendam, bisa takut diuber dari belakang. Mental anjing, digertak sedikit sudah lari begitu macam. Bahkan sudah lari sekencang-kencangnya, masih melerok, kalau-kalau diuber.
Tukang sayur dan tukang ikan yang polos bak puteri malu, selalu digertak semena-mena oleh si Moli. Setiap lewat RT II, keduanya melipir hingga ke tepi selokan. Seakan-akan mereka tak bayar iuran jalan, hingga begitu takutnya ada di tengah ruas jalan.