Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Manuver Politik "WhatsApp Group"

15 Januari 2018   11:11 Diperbarui: 16 Januari 2018   17:23 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber gambar : pragerU)

Zog I Skanderbeg III adalah raja Abania 1928-1939. Ia lolos 55 kali dari upaya pembunuhan lawan politiknya. Gabriel Garcia Moreno; mantan Presiden Ekuador pun begitu. Lengan kanannya putus. Kepalanya bocor dalam suatu upaya pembunuhan oleh lawan politiknya di Katedral Quito Ekuador diawal Agustus 1961.

Demikian pun Yaser Araf, Fidel Castro, legenda Rusia; Rasputin, selalu lolos dalam upaya pengintaian dan pembunuhan agen CIA. Masih banyak politisi kakap dengan katahanmalangan paling tinggi. Mereka adalah politisi panjang nyawa dan cadangan keberanian paling banyak di dunia.

Keberanian model begini, hanya terjadi pada politisi nun jauh di luar sana. Mereka tak cuma dilawan secara diplomatik. Bahkan nyawa mereka saban hari terancam di ujung bedil seteru politiknya. Lain hal dengan politisi di Indonesia saat ini.

Di Indonesia enteng saja, politisi gampang mati hanya gegara WhatsApp Group (WAG). Bayangkan, politisi di Indonesia, kini bisa maju dan mundur; hanya gegara dukungan user WAG. Saking begitunya, tak ayal, ada juga politisi, yang memori politiknya dikukus habis oleh anggota WAG. Seperti tak berdaya oleh anasir anggota WAG.

Hampir tiap waktu, ia cape-cape memposting komitmen politiknya di WAG. Semacam konstituen WAG. Saya membayangkan, satu per satu, politisi luruh hanya gegara arus deras penolakan anggota WAG terhadapnya. Hal demikian, hanya terjadi pada politisi yang tengah mengalami defisit kepercayaan konstituen. Sebagai kompensasi, mencari legitimasi politik dalam ruang sosial yang sempit, seperti di WAG.

Suatu hal, ketakutan paling besar pada para politisi adalah, ketika mengalami defisit legitimasi. Do not lose trust. Politisi selalu mewanti-wanti dirinya begitu. Tak boleh defisit kepercayaan. Ketua Umum BM PAN; saudaraku Ahmad Yohan bilang begini, soal penting dari politisi itu soal kepercayaan (Trust). Kalau hight trust, pasti low cost, tapi kalau low trust, pasti high cost. Kalau low trust and low cost? What do you think about that? Ini hanya Tuhan yang tahu jawabannya.

Suatu pagi, Donius yang buta dan tulis soal politik, bertanya pada om Neno; yang baru saja didaulat sebagai ketua ranting salah satu Parpol lawas. "Om, apakah mau jadi caleg, harus punya whatsApp group? Soalnya Paman Gugus batal nyaleg, hanya gegara ia ditolak setengah mati di whatsapp group sesama kepala desa. Padahal, Paman Gugus tak punya smartphone. Boro-boro punya WAG. Mungkin itulah yang buat Paman Gugus emoh nyaleg." Paman Donius yang juga buta soal gadget menjawab enteng, "Memangnya whatsapp tu kepala desa baru ka?"

Padahal, di WAG itu pasar konten. Semua hal ihwal bisa numpuk dan nyampah di situ. Semacam asbak. Semua soal perkara tumpah di situ. Pagi Gofur memposting fadilat solat subuh. Malam Sanusi memposting zikir 2000 kali agar mudah mendapat jodoh. Besoknya lagi Shoba memposting bagaimana cara cebok yang baik dan rajin makan buah papaya agar tak rentan diserang ambeyen.

Lusanya, Refrata memposting hitungan-hitungan peta elektoral dan jatah kursi legislatif dari parlemen di Afrika sampai Alaska. Tiga hari kemudian, Samir yang punya paket data cuma harian, sejak pagi me-re-post zikir tertentu dengan iming-iming, bila dikirim ke 10 orang akan mendapat tambahan pulsa, plus paket data satu bulan. Dalam iklim WAG yang begitu semrawut, para politisi menyelami legitimasi. Seperti adagium paling lawas "kalau kadung tenggelam di tengah laut, jerami pun dikira pelampung."

Suatu pagi, Donius bercerita soal WAG warga di kampung sebelah yang mengumpul orang dengan tensi politik paling tinggi. Saking tingginya, hingga kelewat batas. Tiap pagi Paman Dorus yang idap hipertensi akut, selalu memposting maki-makian dan bego-begoan terhadap kandidat kepala desa serta cecunguknya yang paling ia benci. Dipostingnya bertubi-tubi.

Serangan segala penjuru disasarkan pada siapa pun yang suka membantah, apalagi melawannya. Gayung bersambut, postingan Paman Dorus, ditanggapai heboh. Bak angin puting beliung. Dari like, comment and share, atau repost. Yang repost atau share diberi caption yang isinya maki juga. Me-re-post makian dengan caption maki. Yang comment juga makian semua. Jadi setiap pagi, wacana jelang suksesi pilkades, isinya maki tok. Tak lain tak bukan.

Jadi, pagi buta, sebelum para anggota WAG sarapan, mereka sudah disumpal dan ditohok caci maki. Berlanjut ke lini masa (facebook, instagram, twitter dan blog), semua isinya makian. Pagi itu, jagat sosmed para pemilik akun di kampung sebelah seperti lautan umpatan dan caci maki. Hanya gegara Paman Dorus yang idap hipertensi.

Yang paling membingungkan dari sekian orang yang menanggapi Paman Dorus, tak satupun mengannggap ia sebagai lawan politik. Mereka hanya sepat pada pilihan kata-kata Paman Dorus yang selalu kotor dan penuh umpatan. Kalau tak maki, pasti marah. Begitu tiap hari.

Jadi, dipikir-pikir, siapa sesungguhnya lawan politik Paman Dorus? Wolter yang paling awam politik dan mati-matian menolak kandidat kades yang diusung Dorus, pun tak menganggap Dorus sebagai rival politik yang sepadan. Jadi sekali lagi, siapa lawan politik Paman Dorus, dalam ajang pilkades yang panas itu?

Paman Minggus yang kepala dan mulutnya selalu panas, acap kali memukul dada dan pasang kuda-kuda bila ada debat soal pilkades. Saking begitu temperamennya, orang-orang di kampung melabelinya politisi jam 12 siang. Dulu Paman Minggus juga dibilang politisi kepala batu, politisi mulut silet dan masih banyak label lain. Meskipun levelnya masih politisi kampung.

Suatu hari, Paman Minggus marah bukan kepalang, akibat ia dengar, kalau ada yang bilang, levelnya cuma politisi kampung. Paman Minggus kadung sudah merasa ia politisi dari kampung dengan rasa nasional. Oleh sebab itu, di timeline sosmed-nya, selalu memposting apapun dengan akhir kata "nasional." biar ia dibilang paham urusan pusat.

Konon setiap jam 12 siang Paman Minggus gampang marah. Jangan coba-coba menyodoknya saat jam 12 siang. Setiap jam 12 siang, Paman Minggus sudah memasang kuda-kuda. Kedua tangannya dikepal dengan memasang wajah sangar. Seakan-akan siapapun yang lewat diterkam dan dilumat habis.

Setelah diusut-usut, beginilah alasan medis kenapa Paman Minggus suka marah setiap terjadi debat politik di siang hari. Ternyata, setiap siang, apalagi tepat pukul 12. 00, suhu tubuh Paman Minggus meningkat drastis. Berimbas pada meningkatnya detak jantung, hormon testosterone, serta reaksi metabolik. Hal ini memicu reaksi saraf simpatik yang membuat paman Minggus berada dalam situasi siap untuk melawan atau bertarung. Sebab itulah, setiap siang, Paman Minggus selalu pasang kuda-kuda.

Karena demikian, setiap jam 12 siang, Paman Minggus suka mencari musuh. Meskipun tak satu pun orang di kampung, menganggapnya musuh yang sepadan. Di jam 12 siang, semua orang saling mewanti-wanti, "Jangan coba-coba berbeda dengan Paman Minggus dalam hal apapun. Apalagi melawannya." Bahaya, soalnya sudah jam 12 siang.

Karena WAG yang panas, dan lini masa yang mendidih, Paman Gugus yang sudah mulai sepat dengan politik WAG memutuskan cukup mendengar semua ihwal politik di radio. Sedikit bicara politik dan banyak nyanyian. Dari pop, dangdut, keroncong hingga rege. Apalagi RRI Pro. Isinya dangdut semua.

Paman Gugus yang sekolah saat kurikulum belajar masih menggunakan metode dikte, percaya, bahwa pilkades atau pileg adalah pesta rakyat. Namanya juga pesta, ada banyak tawa disitu dan juga makan-makan. Bukan terus-terusan dihantui kemarahan seperti Paman Minggus setiap jam 12 siang. Wallahu'alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun