Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan mahasiswa, mulai dari cara belajar hingga cara berinteraksi. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada satu hal yang perlahan tergerus: etika. Di tengah kemajuan digital, nilai-nilai seperti kejujuran, sopan santun, dan tanggung jawab mulai diabaikan.
Digitalisasi dalam pendidikan tinggi, khususnya pasca-pandemi, membuat hampir seluruh aktivitas akademik beralih ke ruang digital. Sayangnya, ruang ini juga menjadi tempat suburnya pelanggaran etika akademik. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) tahun 2021, terjadi peningkatan signifikan dalam kasus plagiarisme selama pembelajaran daring. Mahasiswa dengan mudah menyalin tugas atau karya ilmiah dari internet tanpa mencantumkan sumber, sebuah bentuk ketidakjujuran yang mengikis integritas akademik.
Selain itu, etika komunikasi pun mengalami degradasi. Banyak mahasiswa yang berinteraksi dengan dosen atau rekan sejawat melalui pesan singkat atau platform pembelajaran daring tanpa memperhatikan norma sopan santun. Salam pembuka, bahasa yang santun, dan waktu yang tepat sering kali diabaikan. Hal ini menandakan kurangnya pemahaman tentang etika digital yang seharusnya menjadi bagian dari pembentukan karakter akademisi.
Fenomena ini juga diperkuat oleh ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi. Alih-alih membangun kemandirian berpikir dan daya analisis, sebagian mahasiswa lebih memilih jalan pintas dengan mengandalkan mesin pencari atau bahkan kecerdasan buatan untuk menyelesaikan tugas. Dalam The App Generation (2013), Howard Gardner dan Katie Davis menyebutkan bahwa generasi muda saat ini menghadapi tantangan besar dalam membangun identitas dan nilai karena pengaruh kuat teknologi digital yang tidak dibarengi dengan kontrol etis.
Sayangnya, pendidikan tinggi saat ini cenderung hanya menekankan kecakapan teknologi dan penguasaan perangkat lunak tanpa mengiringinya dengan pendidikan moral dan etika digital. Padahal, seperti diungkapkan oleh Mike Ribble dalam Digital Citizenship in Schools (2011), pembentukan karakter digital sangat penting agar mahasiswa dapat menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, etis, dan bermartabat.
Jika fenomena ini dibiarkan, kita tidak hanya akan mencetak generasi yang canggih secara teknologi, tetapi juga generasi yang lemah dalam karakter. Etika bukan sekadar atribut tambahan, melainkan fondasi utama dalam membangun peradaban akademik yang sehat.Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan, dosen, bahkan mahasiswa itu sendiri untuk merefleksikan kembali nilai-nilai moral yang mungkin telah terlupakan di balik layar gawai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI