Mohon tunggu...
Yadi STP MM
Yadi STP MM Mohon Tunggu... Penulis - Science Content Writer PT Algarosan Nusantara

Berasal dari Rangkasbitung sekarang tinggal di Surabaya. Bekerja sebagai penulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Cerita Ksatria Ilalang Bab 1: Jaka Someh. Pemuda Mandiri

28 Mei 2022   20:23 Diperbarui: 23 Juni 2023   08:19 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kampung yang bernama Kampung Cikaret, tepatnya di bawah kaki
gunung Halimun. Saat itu hari menjelang subuh. Hawa dinginnya begitu menusuk
sampai ke dalam tulang sumsum. Langit waktu itu masih terlihat gelap, namun
seorang remaja nampak sudah sibuk dengan aktivitasnya memotong kayu bakar.
Dialah Jaka Someh. Usianya mungkin masih sangat remaja, berkisar antara 13 atau
14 tahunan, tapi badannya sudah terlihat kekar dan berotot.
Jaka Someh sudah menjadi seorang yatim piatu, saat usianya sekitar 10 tahunan.
Ibunya meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya. Sedangkan Ayahnya
meninggal lebih dahulu, yaitu saat Jaka Someh masih berusia tujuh tahun. Ayahnya
meninggal secara mengenaskan setelah dikeroyok oleh anak buah Juragan
Permana.


Juragan Permana adalah seorang rentenir dari kampung Rawa Balong, kampung
yang masih berdekatan dengan Kampung Cikaret.
Saat masih hidup, ayah Jaka someh adalah seorang ustadz yang cukup di segani
oleh masyarakat. Seorang ustadz yang tegas, berwibawa, dan memiliki hati yang
dermawan. Beliau bernama Pak Sabarudin. Sering berceramah dari satu desa ke
desa lainnya. Sikap tegasnya tersebut justru tidak disukai oleh para rentenir yang
ada di kampung cikaret dan sekitarnya, terutama juragan Permana yang berkuasa di
wilayah Kampung Rawa Balong yang berdekatan dengan Kampung Cikaret. Mereka
merasa terusik oleh nasehat-nasehat dari ustadz Sabarudin, yaitu ayah Jaka
Someh.


Hari itu, saat Ustadz Sabarudin pulang berceramah dari kampung Rawa balong,
beliau di hadang oleh beberapa centeng Juragan Permana yang merasa tidak
senang dengan isi ceramahnya. Beliau kemudian di keroyok dan dibunuh tak jauh
dari gubuknya. Bahkan Jaka someh yang kala itu masih berusia 7 tahun ikut
menyaksikan peristiwa tersebut. Dia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya
menangisi jenazah ayahnya yang telah mati sahid setelah di bunuh oleh para
centeng dari Juragan Permana. Hati Jaka Someh sangat sedih dan marah.
Ibu Jaka Someh merasa syok melihat suaminya meninggal secara mengenaskan.
Setelah itu dia sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia 3 tahun kemudian.
Trauma kematian ayah dan ibunya cukup membekas di hati Jaka someh.
Saat masih hidup, ibu Jaka Someh sering menasehati agar selalu berhati-hati dalam
berucap, jangan sampai menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain.
Ibunya seringkali berpesan kepada Jaka Someh agar bisa selalu menjaga tata
krama, harus banyak bersabar, banyak mengalah, dan harus selalu rendah hati.
Nasehat ibunya tersebut cukup membekas di dalam hati Jaka Someh bahkan telah
membentuk karakter pada dirinya.


Sekarang, Jaka Someh sudah berusia 13 tahun. Tinggal di sebuah gubuk
peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Gubuk yang sangat sederhana, terbuat
dari bilik bambu yang telah usang karena di makan usia. Di dalamnya hanya ada
bale-bale bambu dan perapian yang terbuat dari tanah liat yang telah dikeringkan.

Bermandikan cahaya obor, Jaka someh begitu asyik menikmati pekerjaannya,
membelah potongan kayu kering dengan sebilah goloknya. Memotong beberapa
batang kayu utuh menjadi potongan-potongan kecil agar bisa digunakan sebagai
kayu bakar. Keringatnya terlihat bercucuran membasahi tubuh.
Jaka someh memang seorang pekerja keras yang ulet. Malas adalah musuhnya.
Dia benci kalau harus menganggurkan waktu dalam hidupnya. Prinsipnya tak boleh
ada yang sia-sia. Selama longgar dan sehat, dia akan mengerjakan apapun yang
sekiranya bermanfaat untuk dirinya ataupun orang lain.


Jaka Someh juga seorang yang ringan tangan. Tak merasa sungkan untuk
menolong orang lain. Tidak peduli meskipun orang tersebut tidak menghargainya.
Hatinya sudah cukup puas ketika melihat orang lain telah terbebas dari kesusahan
yang sedang dialami.


Jaka someh tiba-tiba teringat dengan salah satu pesan almarhum ayahnya.
Waktu itu Pak Sabarudin pernah berkata kepadanya
“Jaka Someh, anakku yang paling ganteng sedunia…kamu jangan takut capek,
kamu jangan pernah merasa rugi ketika kamu berbuat kebaikan, selama itu
mengandung kebaikan dan manfaat. Kerjakan saja secara sungguh-sungguh.
Kerjakan dengan hati yang penuh keikhlasan dan rasa senang. jangan pernah
mengharapkan pujian dari orang lain. Yang penting Tuhan Meridhoi dengan apa
yang kamu lakukan…”
Waktu itu Jaka Someh mungkin masih berusia sekitar 6 tahunan, namun ayahnya
sudah sering sekali memberi pituah-pituah.
Pernah suatu ketika dia bertanya kepada ayahnya
“Bapak…bagaimana kalau kita sudah bekerja dengan keras namun ternyata maksud
dan cita-cita yang kita harapkan tersebut tidak tercapai…apakah pekerjaan tersebut
menjadi sia-sia …?”
Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan Jaka Someh. Kemudian memeluk anak
semata wayangnya itu, sambil berkata

“Jaka Someh…anakku yang pinter…kamu harus inget pesan bapak ini…tidak ada
yang sia-sia di dalam amal kebaikan…sekecil apapun pekerjaan yang kamu
lakukan, Insya Allah ada dampaknya…ada manfaatnya…Kerjakan saja sampai
tuntas…kalau belum mampu diselesaikan saat itu…ya dilanjutkan lagi di waktu yang
lain…Lama-kelamaan, Insya Allah akan sampai pada tujuan yang kamu inginkan
tersebut…yang penting kamu harus sabar, terus berikhtiar dan berdoa, jangan
pernah berputus asa…jangan takut Capek……Capek itu sebenarnya juga adalah
suatu nikmat Tuhan…coba kamu pikirkan...kalau kita Capek…Insya Allah tidur kita
akan menjadi nyenyak …. makanan yang kita makan juga akan terasa lebih
nikmat… walaupun mungkin hidangannya cuma ala kadarnya….Aduh seandainya
saja kamu tahu, wahai anakku...bisa tidur nyenyak dan makan enak itu adalah suatu
karunia, suatu kenikmatan yang luar biasa...…setelah istirahat yang cukup…tubuh
kita juga akan kembali menjadi segar… itulah keberkahan hidup…satu kebaikan
akan menghasilkan kebaikan yang lain...hidup akan penuh dengan
kebahagiaan…yang penting kita harus selalu bisa bersyukur atas nikmat yang telah
dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa…”.
Jaka Someh mengangguk-anggukan kepalanya. Entah mengerti atau tidak dengan
pituah ayahnya tersebut.


Ibunya waktu itu sedang menyetrika dengan menggunakan setrika arang, yaitu
sejenis setrika yang dibuat dari besi yang dipanaskan oleh bara api arang di
dalamnya. Ibunya berkata kepada Jaka someh
“Iya, betul kata bapak kamu…coba kamu lihat…ibu sedang apa sekarang…?”
Walau heran ibunya bertanya seperti itu, Jaka Someh tetap berusaha menjawab
“Sekarang ibu sedang menyetrika baju…memang kenapa ibu…?”
Ibunya tersenyum mendengar jawaban anaknya, dia kembali bertanya kepada anak
semata wayangnya itu
“Coba…kamu lihat…! Baju dan celana yang akan disetrika ini, apakah banyak atau
tidak…?”
“Banyak sekali ibu…sampai menumpuk seperti gunung…”.
Ibunya tersenyum mendengar jawaban anaknya
“Betul anakku…Jaka Someh, coba kamu perhatikan…ibu menyetrika pakaian-
pakaian ini, satu persatu…kalau ibu setrika satu baju…apakah menurut kamu
tumpukan bajunya akan terlihat berkurang…?”
Jaka Someh agak sedikit ragu untuk menjawabnya, khawatir jawabannya akan keliru
“Bagaimana ya ibu? menurut saya, kalau ibu cuma menyetrika satu baju
saja...tumpukannya masih belum kelihatan berkurang, apalagi tumpukannya
menggunung seperti itu…”

Ibunya tertawa senang mendengar jawaban anaknya
“Betul anakku…kalau cuma satu baju yang ibu setrika…tumpukannya terlihat seperti
tidak berkurang…seakan-akan tidak berubah sama sekali…padahal sebenarnya
tidak begitu...dengan menyetrika satu baju saja, ibu sudah mengurangi tumpukan
bajunya, meskipun cuma sedikit…kalau ibu terus melanjutkan menyetrika satu baju
lagi dan terus menyetrika satu persatu…pasti lama-kelaman tumpukan bajunya akan
hilang…karena habis disetrika semuanya oleh ibu…Pesan ibu adalah yang penting
kamu harus sabar dan telaten... kalau kamu bekerja, jangan setengah-
setengah…kerjakan terus dengan penuh kesabaran sampai terwujud maksud dan
tujuan yang diinginkan…bagaimana apakah kamu mengerti…?”.
Jaka Someh mengangguk-anggukan kepalanya, seolah mengerti dengan maksud
dari perkataan ibunya.


Mega merah kini telah nampak dilangit timur, pertanda fajar sudah akan terbit. Suara
kokok ayam mulai terdengar saling bersahutan, membuyarkan lamunan Jaka someh
yang sedang mengenang kebersamaan dengan almarhum kedua orang tuanya.
Jaka Someh kemudian mengangkut kayu bakar yang baru di potongnya tersebut,
dimasukan ke dalam gubuk. Dia bersiap membuat api untuk memasak air.
Sambil memasak, dia menyempatkan diri pergi ke sungai Cikaniki yang tak jauh dari
gubuknya. Suara airnya begitu bergemiricik, menambah suasana alami yang
menenangkan pada jiwa. Apalagi udaranya terasa begitu sejuk.
Jaka Someh mandi dan berwudhu dengan air itu. Air yang masih terlihat begitu
jernih dan Segar tanpa terkena polusi sedikitpun juga. Bahkan saking jernihnya,
terlihat beberapa ikan sedang bermain saling berkejaran dengan temannya. Jaka
someh tersenyum melihat ikan-ikan itu. Itu adalah salah satu hiburan gratis yang
bisa membantunya menenangkan jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun