Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Satu Malam

13 April 2019   09:17 Diperbarui: 13 April 2019   14:20 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja kutaruh punggung ke sandaran kursi setelah 5 jam operasi, saat seorang perawat menembus pintu ruanganku. 

"Dokter Wil, maaf. Dokter Reo membutuhkan bantuan Anda," kata Nita yang terlihat tergesa, nafasnya masih agak terengah.

"Bantuan saya?"

"Ada pasien korban kecelakaan, anak-anak. Kondisinya sangat kritis dan harus segera dilakukan tindakan operasi,"

"Apakah jantungnya bermasalah?"

"Bukan itu, Dok!"

"Lalu?"

Nita mendekat, "Pasien ini kehilangan banyak darah, sementara golongan darahnya itu sangat langka di dunia,"

"Orangtuanya?"

"Itu masalahnya, golongan darah orangtuanya berbeda dan stok rumah sakit juga tidak ada, bahkan kita sudah menanyakan ke PMI," 

"Apa golongan darahnya?" tanyaku sambil berdiri.

"O resus negatif," 

Jawaban Nita membuatku diam, O resus negatif! Jadi itu sebabnya Reo membutuhkan bantuanku. Tanpa pikir panjang aku pun segera menuju ruang IGD. 

Samar terdengar suara pertengkaran di ruang tunggu IGD ketika aku hampir sampai.

"Jawab aku, Lea. Dia anak siapa? Chiya anak siapa?" teriak pria itu lantang. Wajahnya merah dipenuhi amarah dan kekecewaan. 

Dan seorang wanita yang hanya bisa menangis saat suaminya murka. Tak bisa kulihat wajah sang istri karena posisinya membelakangiku.

Langkahku kian mendekat hingga percakapan mereka mulai terdengar jelas. Pria itu menyentuh bahu istrinya, menatapnya tajam dengan sebuah tuntutan.

"Apa benar dia bukan anakku? Dia bukan anakku?" ada airmata yang meluncur dari bola matanya. Pria itu pastilah sangat menyayangi anaknya, hingga tergores luka yang begitu dalam saat ia mempertanyakan sebuah kebenaran. 

"Maafkan aku, Pa!" isak wanita itu, "Tapi aku bisa menjelaskan semuanya,"

Pria itu melepas bahu istrinya, perlahan mundur tanpa melepaskan tatapannya yang dipenuhi rasa kecewa dan luka. Kepalanya menggeleng pelan. 

"Wil,"

Suara Reo membuyarkan perhatianku pada sepasang suami-istri itu. Kuhampiri Reo,

Wanita itu memutar tubuhnya hingga bisa kulihat wajahnya. Dan....

Tubuhku membeku dalam sekejap, semua di sekelilingku seakan runtuh. Sebuah wajah yang pernah kukenali, yang selama ini ingin kutenggelamkan-bersama rasa perih yang tak pernah bisa kuredam. Wajah itu, kini muncul di hadapanku. Begitu jelas! Wajah yang kupikir tak bisa lagi kutatap, yang hanya bisa kuingat dalam kenangan. 

Dan wajah itu, menampakan ekspresi yang sama kagetnya dengan diriku. Tentu ia juga tak akan mengira kami bisa bertatapan lagi seperti saat ini.

"Wil," Reo menepuk bahuku, membuatku tersadar hingga mengalihkan pandangan ke arahnya. "Bukan saatnya terpesona dengan seseorang," ia masih bisa menyelipkan candaan dalam situasi seperti ini! 

"Apa yang bisa kubantu?"

"Mungkin suster Nita sudah menjelaskanya padamu, sebelumnya..." ia menatap wanita itu, "ini Bu Hanggono, putrinya yang mengalami kecelakaan," 

"Ouh," sahutku. Kami berpandangan kembali, lalu kuangsurkan tangan seraya memperkenalkan diri. "Wildan,"

Ia tak langsung menyambut, matanya masih mengarah padaku. Dan perlahan turun menatap tangan yang terjulur menunggu sambutannya. Perlahan ia mengangkat tangannya yang putih, menggenggam tanganku dengan lembut. 

Tubuh ini sedikit terlonjak, seperti ada aliran listrik yang menyengat saat kulit kami bersentuhan. Ia tak berubah, tangannya masih selembut dulu, masih menyalurkan aliran arus yang membuatku bergetar. Tapi karena aku tak ingin terjebak ke jurang kembali maka harus kusudahi jabatan kami.

Reo menatap dengan penuh selidik. Tapi ia cukup profesional hingga lebih mengutamakan tugas.

"Dan yang tadi suaminya, Pak Defian Hanggono," seru Reo. Tapi pria itu sudah menghilang, mungkin terlalu frustasi! "Putri mereka, kehilangan banyak darah, sementara operasi harus segera dilakukan. Dan sampai detik ini kami belum menemukan golongan darah yang cocok. Itu sebabnya kami membutuhkan bantuanmu, karena di tempat ini... yang kutahu-kau memiliki golongan darah yang sama. Apa kau bersedia membantu?" 

Perlahan kutatap kembali wanita itu, ada pertanyaan yang kulemparkan di sana. Dan sepertinya ia mengerti.

"Begini saja, kutinggal sebentar untuk mengecek keadaan Chiya," seru Reo,

"Lakukan saja operasinya," seruku menghentikan langkah Reo. Ia menatapku,

"Apa?"

"Aku bersedia menjadi pendonornya,"

Reo tersenyum girang, meski ia tahu-aku pasti akan melakukannya demi kemanusiaan. Tapi binar lain muncul di wajah wanita itu. Ada kilat bahagia, haru dan juga kagum tersirat di matanya. 

* * *

Aku terpaku menatap sosok di depanku, pagi-pagi begini sudah kedatangan tamu. Ia pasti tahu alamat ini dari Reo. 

"Maaf, aku mengganggumu sepagi ini. Tapi ada sesuatu yang harus kita bicarakan," suaranya lembut.

Mendadak tingkahku jadi kikuk. "Eeh, ya... tidak apa. Silahkan masuk," kataku mempersilakannya. 

"Kudengar kau tinggal sendiri, jadi lebih baik kita ngobrol di sini saja," jawabnya.

Lalu kami duduk di meja teras.

Kediaman cukup lama menyelimuti, mungkin ia juga merasakan hal sama. Tak tahu harus memulai dari mana percakapan yang ingin kami bawa. Karena kami dipertemukan lagi melalui putrinya, jadi kupikir menanyakan kabarnya adalah permulaan yang baik.

"Bagaimana keadaan putrimu?" 

"Dia sudah membaik, secara fisik."

"Syukurlah,"

"Terima kasih, kau sudah menyelamatkannya. Itu sangat berarti bagiku,"

Kuanggukan kepala pelan sebagai sahutan, "Berapa usianya?"

"Minggu depan-tepat delapan tahun,"

Senyum tipis tersungging di ujung bibirku, "Kenapa kau memberitahuku, kau tak berniat mengundangku, kan?" sahutanku membuat Lea menatapku. "Jujur, aku jadi benci pesta ulangtahun," lanjutku tanpa membalas tatapannya.

"Apa kau juga membenciku?" tanyanya pelan, "Lalu kenapa kau selamatkan putriku?"

"Dia masih kecil, dan dia tak tahu apa-apa. Haruskah aku menghukumnya?" 

Kurasakan ia mengangguk. "Ya, kau benar."

Kami kembali dilanda hening, ada perasaan aneh yang menggelayut hatiku empat hari ini. Sejak peristiwa di rumah sakit. Kucoba mengalihkan dengan pekerjaanku, bahkan jika jadwalku kosong-kupaksa Reo dengan bantuanku. Tapi rupanya tak berhasil.

"Wil," pangilnya dengan nada yang pernah kukenal.

Aku hanya melirik. 

"Aku,"

"Kenapa kau menipuku?" potongku, 

"Aku, aku tak berniat jahat padamu,"

"Sungguh?" kutoleh dia, "Tapi kau melakukannya,"

"Wil,"

"Kau menjebakku, menyeretku  ke dalam sihir cintamu-lalu kauhempas seperti sampah!"

"Tidak-tidak sepenuhnya seperti itu," sahutnya dengan nada yang mulai bergetar.

"Lalu seperti apa?" amarah mulai menguasaiku. Bertahun kucoba untuk mengubur luka ini, dan sekarang Tuhan mempertemukan kami.

Ada airmata yang mengalir di pipinya, entah untuk apa cairan hangat itu! 

Kami kembali diam, menerawang ke masa di mana hati ini akhirnya karam.

Saat itu, aku masih bergelar mahasiswa kedokteran-spesialis jantung. Ibuku hanyalah karyawan biasa di sebuah perusahaan yang tak terlalu besar. 

Yang gajinya pun tak seberapa. Ayah, meninggal karena gagal jantung saat aku masih duduk di bangku SMA, asalan itulah yang membuatku ingin menjadi seorang dokter spesialis jantung. Agar aku bisa menyelamatkan mereka yang memiliki penyakit seperti Ayah. 

Hari itu adalah ulangtahun Ferly, ia mengadakan pesta di salah satu vilanya yang ada di puncak. Dalam pesta itu, aku melihat seorang bidadari. Selama ini kufokuskan diri mengejar cita-cita, tak pernah sedetik pun terfikir untuk memiliki kekasih-meski Diana, salah satu gadis terpopuler di kampus selalu mencoba mencari perhatianku. 

Entah, hanya perasaanku saja atau memang benar. Tapi bidadari itu juga memperhatikanku. Ferly menyadari itu, lalu ia memperkenalkanku padanya yang ternyata adalah kakak sepupunya. 

Akhirnya kami mulai akrab. Kami membincangkan banyak hal, termasuk cita-citaku yang ingin memiliki rumah sakit sendiri suatu saat nanti. Di mana rumah sakit itu akan lebih memprioritaskan keselamatan pasien ketimbang biaya administrasinya. Karena begitu banyak pasien yang tak sempat ditangani dan harus meregang nyawa hanya karena masalah biaya administrasi. 

Aku benci itu, karena hal itu juga menimpa Ayah. Dan saat itu aku belum bisa melakukan apa pun. Lea memang tak banyak bercerita padaku tentang pribadinya, tapi entah mengapa, aku merasa ia adalah wanita yang Tuhan persiapkan untukku. Kami begitu terhanyut, hingga lupa diri. Atau memang aku saja yang terlalu dimabuk cinta. Kami menghabiskan malam bersama di salah satu kamar Vila Ferly. 

Paginya ia bahkan mengantarku pulang. Tapi bodohnya, aku tak sempat meminta nomor teleponnya. Tak sempat menanyakan di mana ia tinggal. Kucari Ferly untuk mengorek informasi, sayangnya bocah itu malah pergi ke luar negeri selama seminggu karena ada urusan keluarga. 

Aku begitu frustasi, karena telah terlanjur kuserahkan hati dan jiwaku kepada gadis yang baru kukenal satu malam. Berharap ia akan menjadi pendampingku selamanya.

Dan ketika Ferly kembali, harus kuterima sebuah kenyataan pedih.

"Aku tak mengerti apa maksumu, Fer?"

"Sorry, Bro. Kalau aku tak memberitahumu sebelumnya, itu permintaan Lea."

"Jangan bertele-tele," 

"Sebenarnya, Lea sudah menjadi milik orang lain," 

Kusunggingka tawa pedih dan canda, "Ini tidak lucu," 

"Aku tidak sedang becanda kawan, ini fakta. Lea sudah menikah,"

Seperti ada petir yang mejadikan hatiku hancur. Tubuh ini membeku seketika.

"Lea sudah menikah dengan Mas Defian dua tahun lalu,"

"Kau bohong!"

"Maafkan aku, ya kupikir Lea hanya ingin main-main saja. Karena Mas Defian sedang pergi ke Amerika, jadi dia kesepian, tapi tak kusangka kalian bisa... yah... sampai terlalu jauh." 

Hatiku kian hancur, dan kutahu Ferly tahu pasti akan hal itu. "Hei, Wil. Wanita itu banyak di dunia, lupakan Lea. Lagipula kalian kan hanya kenal selama semalam, itu tak berarti apa-apa!" bujuk Ferly merangkulku.

Kudorong tubuhnya menjauh, ingin sekali kuhajar wajahnya. Apa dia bilang? Itu tak berarti apa-apa! Itu sangat berarti bagiku. 

Aku tak bisa terima kenyataan Lea ternyata sudah menjadi istri orang saat kami berkenalan, saat kami bercanda, saat kami berbagi kisah, bahkan berbagi ranjang. Lalu kenapa ia mengajakku berkenalan? Kenapa ia harus merayuku dengan pesonanya? Ia tidak sedang mabuk saat itu, aku yakin benar ia dalam keadaan sadar. 

Dan sekarang, ia duduk berseberangan meja di teras rumahku. Ia bilang ada sesuatu yag harus kami bicarakan! Apa itu tentang malam itu?

"Bisa kauberi aku alasan yang tepat kenapa kaulakukan itu, aku tak ingin berburuk sangka. Karena itu akan menggangguku seumur hidup,"

Lea nampak menghela nafas panjang sebelum membuka suara. 

"Dua tahun, aku menjadi istri Mas Defian. Tapi rahimku tetap saja kosong, pihak keluarga terus saja memojokanku. Karena keluarga Mas Defian adalah keluarga ningrat, jadi mereka pikir-akulah yang bermasalah. Aku pernah mengajaknya untuk memeriksan diri kami ke dokter, tapi dia menolak. Dia takut dengan kemungkinan buruk  yang akan dokter katakan. Sementara, aku tidak tahan dengan sudutan keluargnya. Jadi aku pergi sendiri tanpa sepengetahuan suamiku. Dan kata dokter, tak ada masalah dengan kandunganku, kesuburanku, bahkan semua baik-baik- saja. Rahimku cukup subur untuk bisa memiliki banyak anak. Jadi ada kemungkinan, suamiku yang bermasalah. Tapi aku tak mungkin mematahkan hatinya dengan mengatakan semua itu."

Kutatap Lea yang tengah hanyut meceritakan semua kisahnya. 

"Aku merasa frustasi, karena mengadopsi anak tidaklah mungkin. Mereka ingin anak yang lahir dari rahimku. Lalu aku mulai berfikir gila, bagaimana seandainya aku hamil dengan donor sperma pria lan. Tak masalah selama tak ada yang tahu, hanya tinggal menunggu saat yang tepat untuk mendapatkannya. ___Dan di pesta Ferly malam itu, saat pertama kali melihatmu, Kau begitu berbeda dari semua teman-teman Ferly," 

"Terlalu polos dan bodoh, jadi bisa kauperdayai," sahutku dengan nada kecut,

"Tidak, saat itu aku hanya berfikir... kau begitu unik. Dan seperti ada magnet, yang menarikku,"

"Apa pun alasanmu, kau tak berhak lakukan itu padaku! Karena seandainya aku tahu kau sudah bersuami, aku-tidak akan membiarkan diriku jatuh hati padamu. Dan meskipun iya, setidaknya aku masih menjadi orang berakhlak yang tidak sembarangan mengencani istri orang," 

Ia cukup terperangah dengan amarahku. Airmata kembali menetes ke pipinya yang memerah, jelas ia bisa melihat luka yang ia gores untukku.

"Aku sungguh tak berfikir, itu akan...."

"Melukaiku?" potongku lagi. "Kau tahu, 8 tahun-bukanlah waktu yang singkat untuk bisa menepis semua itu. Untuk menepis sesuatu yang kauciptakan hanya dalam semalam,"

Ia kembali terperangah, mungkin ia tak menyadari sedalam apa luka yang dibuatnya untukku. 

Kupasang wajah congkak, "Yah, hanya dalam semalam, kau telah merenggut segalanya dariku. Hati, jiwa, aku begitu jatuh cinta padamu hingga aku begitu terluka saat kau menghilang, lalu kutahu ternyata kau...."

"Wil, maafkan aku," 

Aku tak tahu lagi bagaimana harus kujelaskan semua ini. Aku mulai terbiasa menjalani tanpa memikirkannya, lalu tiba-tiba saja dia muncul kembali. Bahkan hingga detik ini, ia tidak tahu bahwa aku masih tak bisa menyerahkan hatiku pada wanita lain. 

"Aku harus pergi bekerja, jadwalku padat hari ini," kataku mengalihkan. Aku tak mau terhanyut lagi.

Ia menyeka wajahnya yang basah. "Maaf, aku telah mengganggumu. Tapi kau tak perlu khawatir, dan kau bisa lega. Karena Tuhan sudah menghukumku, suamiku... sudah menjatuhkan talak tiga."

Kali ini aku yang terperangah. 

"Tak ada maksud apa-apa kukatakan semua ini padamu, aku hanya ingin kautahu-bahwa Tuhan itu adil. Chiya begitu dekat dengan Mas Defian, dan mulai sekarang aku harus berusaha keras untuk membuatnya terbiasa tanpa papanya. Meski aku tak tahu bagaimana caranya," 

Aku tahu ini pasti sulit baginya, tapi itu bukan urusanku. Benarkah?

"Dan..., Chiya seorang gadis. Jika kelak dia menikah-aku tahu di mana harus mencarimu," katanya sembari berdiri. "Itu pun, jika kau tak keberatan," 

Aku diam, tak menyahutinya. Lalu ia pun beranjak meninggalkan rumahku. Kutatap citycar warna hitam itu yang mulai menjauh. Aku memiliki seorang putri, ini sulit dipercaya. Entah aku harus merasa bahagia atau....

-----o0o-----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun