Mohon tunggu...
May Lee
May Lee Mohon Tunggu... Guru - Just an ordinary woman who loves to write

Just an ordinary woman who loves to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] No Other, The Story [48/55]

10 Mei 2020   16:45 Diperbarui: 10 Mei 2020   16:41 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

HANGENG'S DIARY

CHAPTER 48

BELIEVE

SUB-DIARY: SHINDONG'S

"Selamat datang di ZhongHan House."

Aku dari dapur mengintip Xili yang bekerja dengan giat. Jujur saja, tanpa Xili yang mampu bekerja dengan cekatan, mungkin kami semua akan bersusah payah di resto ini. Setelah kejadian yang nyaris menghanguskan restoku, resto malah jadi lebih ramai lagi. Siwonnie sudah mengusulkan supaya aku membuka cabang baru, Cuma aku belum tau mau buka dimana atau bagaimana mengurusnya, soalnya aku sendirian dan sangat kerepotan disini. Xili menyodorkan kertas pesanan lewat lubang kecil menuju dapur, dan aku mengambilnya.

"Xili, capek tidak?" tanyaku.

Dia menggeleng sambil tersenyum.

"Tidak, oppa. Kita harus berusaha," jawabnya.

"Kau benar, Xili."

Akupun jadi lebih semangat karena mendapat suntikan semangatnya. Tak berapa lama kemudian, Xili masuk ke dapur.

"Oppa, Aqian mencari oppa."

Aku agak heran. Meifen belakangan ini sibuk kuliah, ada apa tiba-tiba mencariku? Akupun keluar dan melihatnya menunggu di depan pintu masuk resto.

"Hai, Hangeng oppa, lama tidak bertemu," sapa Meifen sambil tersenyum.

"Meifen, apa kabarmu?" tanyaku.

"Aku baik, oppa. Tapi aku ingin minta bantuan oppa."

"Ada apa?"

"Begini... aku melamar untuk jadi guru di tempat les menari Shindong oppa dan Eunhyuk oppa, juga lulus audisi tahap pertamanya. Masalahnya audisi tahap kedua akan diadakan lusa, dan aku tidak tau tarian apa yang mereka ingin uji. Aku... Cuma bisa modern dance, mungkin oppa tau itu."

"Iya, aku pernah melihatmu menari, dan itu bagus sekali, Meifen. Jadi apa yang kau khawatirkan?"

"Aku takut kali ini tesnya adalah tarian balet atau tari tradisional, aku mendapat nilai nol besar disana, yah, tidak separah itu sih, tapi menurutku aku parah di tarian seperti itu. Jadi aku kesini untuk minta oppa ajarkan. Memang tidak banyak yang bisa aku dapat dalam dua hari, tapi aku ingin berusaha."

"Tidak masalah, Meifen, kurasa kau bisa dapat banyak kalau belajar giat dalam dua hari. Ayo, aku akan mengajarkanmu."

"Tapi resto ramai begini, apa tidak masalah, oppa? Aku takut merepotkan oppa," kata Meifen.

"Tidak... sama sekali tidak merepotkan. Sekarangpun aku punya waktu untuk mengajarmu. Apa kau mau mulai latihan dari sekarang?"

"Hmm... oke, oppa. Gomawo."

Aku menghampiri Xili yang masih mondar-mandir.

"Xili, Meifen kesini untuk belajar menari, jadi aku akan ke atas dan mengajarnya. Yang di bawah... bisa kau handle?"

"Oh, karena Aqian lulus audisi di tempat menari? Oke, oppa, tidak masalah, aku akan meng-handle ini," kata Xili, "oppa ke atas saja."

Aku menyentuh bahunya untuk mengucapkan terima kasih tanpa kata-kata. Xili, dia berubah jadi gadis yang dewasa dan bisa diandalkan, dan aku semakin mencintainya. Aku mengajak Meifen ke atas, tepatnya ke lantai tiga dimana disitu sering aku gunakan sebagai tempat latihan menariku sendiri. Aku mengajari Meifen tarian balet, menduga lagu mana yang akan dipakai duet Ndonghyuk, karena kami toh sebenarnya pernah latihan bareng. Memang Meifen belajar balet tidak secepat dia belajar modern dance, tapi dalam 6 jam penuh latihan, aku yakin dia sudah menguasai 40% tarian itu. Badannya juga sudah jauh lebih lembut. Siwonnie harusnya bangga padanya.

"Kau capek tidak, Meifen? Kita sudah latihan enam jam penuh. Kurasa kalau dipaksakan latihan lagi juga tidak banyak gunanya, tidak efektif."

"Ya, tidak apa-apa, oppa. Apa besok oppa juga bisa memperkuatku dengan beberapa tarian tradisional?" Tanya Meifen.

"Bisa saja. Kita akan latihan lagi besok."

"Kalau begitu aku akan datang sekitar jam 5 sore, kalau tidak merepotkan oppa?"

"Tidak merepotkan kok. Datanglah jam segitu."

"Okelah. Kalau begitu aku akan pulang."

"Makan saja dulu disini sebelum pulang. Aku akan menyuruh koki yang lain menyiapkan makanan vegetarian untukmu."

"Hmm... boleh deh oppa."

Kami berdua turun kembali ke bawah, saat itu jam sudah menunjukkan kira-kira jam 8 malam. Pandanganku langsung teralih ke meja untuk sepuluh orang, salah satu meja itu diduduki enam orang.

"Anyong, Hangeng hyung!"

Wookie-lah yang melambai dari meja itu. Ternyata mereka adalah KRYSD, dengan seorang gadis yang tidak kukenal, berpakaian rapi. Xili mengantarkan makanan ke meja itu. Aku dan Meifen bergabung ke meja itu.

"Hai... jarang sekali melihat kalian bersama-sama begini," aku menepuk bahu Yesungie.

"Ne, kami baru selesai les bahasa Inggris nih. Oh ya, kau pasti belum kenalan dengan guru bahasa Inggris kami," kata Yesungie, menunjuk si gadis ber-blazer oranye.

"Hangeng hyung, ini Julie. Miss Julie, ini Hangeng, pemilik resto dan koki utama disini, juga sahabat kami," Hae sibuk mengenalkan.

"Hai," sapa Julie sambil berdiri menyalamiku.

Akupun balas menyapanya, dan baru menyadari badannya yang cukup tinggi saat dia berdiri. Dia cantik, wajahnya semakin enak dipandang saat tersenyum. Dan dalam hati aku kagum, dia pasti pandai berbahasa Inggris dan Hangul sekaligus, kalau tidak bagaimana mungkin dia bisa mengajari KRYSD? Orang yang kukenal yang pandai bahasa Inggris hanya Kibummie, Henry dan Yifang. Aku sendiri tidak bisa.

"Hyung, Miss Julie ini ternyata orang Chinesse Taiwan juga lho, sama seperti mamanya Henry," lapor Sungminnie.

"Eh? Zhen de ma?" tanyaku kaget.

"Shi de. Ni cong nali lai de?" Tanya Julie.

"Wo cong Beijing."

"Makanan disini enak, desain restonya juga bagus. Oppa pasti hebat."

"Hahaha... tidak juga."

Aku senang bisa berkumpul lagi dengan semuanya, juga Julie ternyata memang gadis yang enak diajak bicara. Aku jadi penasaran apa dia sudah berkenalan dengan Yifang, yang aku pastikan akan ngobrol dengan sangat seru.

"Miaaaan... aku telaaaaat."

Aku menoleh ke pintu masuk, dan rupanya manusia yang baru saja kupikirkan benar-benar muncul. Yifang, pakaiannya cantik (kemeja merah pendek yang dibuka tiga kancing atasnya, dia memakai tank top hitam di dalamnya, plus rok super mini bermotif bulatan merah) dan wajahnya kelelahan, tergopoh-gopoh menggapai meja kami. Tanpa ragu, Kyu yang tadinya duduk di sebelah kiri Wookie langsung pindah ke kursi sebelah Xili yang kosong. Yifang duduk di tempat yang disisakan Kyu itu. Sekarang meja ini penuh sesak. Wookie langsung mengambil tissue untuk membersihkan keringat di wajah Yifang. Romantic sekali mereka ini.

Yifang mengeluh, "baru pulang syuting. Benar-benar proses yang membunuh. Si sutradara hari ini lagi jadi Mr. Perfeksionis."

"Lagi? Kasian Yifang," kata Wookie, "ini makan."

Yifang menerima sepiring nasi penuh lauk dari Wookie. Pada saat itulah dia baru mendongakkan kepalanya dan menyadari keberadaan Julie.

"Siapa ini? Apa guru bahasa Inggris kalian?"

"Iya, belum dikenalkan pada noona," jawab Kyu, "ini Julie. Miss Julie, ini..."

"Aku tau. Dia Mugung Hwa. Halo," sapa Julie ramah.

"Aigo, jangan panggil aku dengan nama panggung, hehehe. Panggil saja aku Yifang, err... Julie onnie? Julie? Duh, bingung..." keluh Yifang, menggaruk-garuk kepalanya.

"Julie saja. Aku sering menonton dramamu loh, bahkan dari debutmu sebagai figuran."

"Hah? Benarkah? Aduh, jadi malu..."

Tuh, benar kan, mereka mengobrol dengan seru? Tapi selain memperhatikan kedua cewek itu, perhatianku juga teralih pada Yesungie dan Hae, keduanya sibuk melirik Julie. Tunggu... jangan sampai...

"Donghae oppa sepertinya suka pada Julie onnie," ujar Xili.

Entah ini salah telingaku atau hanya karena aku berpikiran negative, sepertinya aku mendengar sedikit nada cemburu dalam ucapan Xili barusan. Tapi mudah-mudahan aku salah.

Aku tersenyum tipis, "ne, sepertinya begitu, Xili. Tapi apa kau tidak lihat kalau Yesungie juga melirik Julie?"

"Eh, iya juga ya. Aku kasihan sekali kalau mereka berdua harus mencintai orang yang sama. Yah... yang dulu..."

Xili membiarkan kata-katanya menggantung, tapi aku mengerti. Yesungie pernah kalah sekali memperebutkan Yifang dengan Wookie, sedangkan Hae juga kalah memperebutkan Xili denganku. Aku berharap mereka tidak terlibat hal seperti itu lagi. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran. Pandangan Yesungie yang terpaku pada Julie... sepertinya bukan pandangan menyukai, tapi seperti... penasaran?

Julie melirik arlojinya, "ah, aku sudah ingin pulang. Terima kasih untuk traktiran kalian."

"Bagaimana kalau kami antar? Aku juga bisa mengantarmu, Julie," tawarku.

"Ah, tidak... aku biasa pulang sendiri naik taksi. Kalian tidak perlu repot-repot. Lagipula kelihatannya kalian sudah lama sekali tidak mengobrol, kalian disini saja berkumpul lebih lama."

"Julie, kapan-kapan mampir ke apartemen kami ya," pinta Yifang.

"Tentu, Yifang. Sampai ketemu lagi semuanya."

Kami melambai pada Julie. Hae kelihatannya sudah mau menyusulnya, tapi Julie menggelengkan kepalanya. Yifang akhirnya meletakkan sumpitnya, lalu mendesah lega.

"Aigo, aku kenyang sekali..."

"Hati-hati ukuran perutmu kalau makan sebanyak itu," cela Meifen.

"Tenang saja, aku kan sering fitness. Eh? Itu ponsel siapa?"

Yifang menunjuk sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja, tepatnya di depan kursi yang diduduki Julie tadi.

"Itu pasti punya Julie," jawabku.

"Biar aku saja yang susul dia. Mudah-mudahan masih bisa tersusul."

Selesai berkata begitu, Yifang dengan cekatan langsung menyambar ponsel itu dan keluar. Dasar Yifang aneh.

AUTHOR'S SPECIAL POV

Yifang meneliti ponsel yang dipegangnya dengan penasaran. Begitulah dia, selalu penasaran dengan barang-barang baru, termasuk milik orang lain. Apalagi, ponsel Samsung seri ini belum pernah dia lihat sebelumnya. Sambil berjalan, dia menekan salah satu tombol berwarna merah, yang tau-tau membuat ponsel itu menyala, tapi sekaligus meminta password untuk membuka kuncinya. Tapi bukan itu yang membuat mata Yifang terbelalak. Yang dia lihat adalah wallpaper ponsel itu, yang ternyata gambar Donghae.

"Heh? Hae?" Tanya Yifang.

Tiba-tiba di pikiran Yifang langsung berkelebat banyak hal, biasa deh, daya imajinasinya tinggi. Sementara itu, Julie belum naik taksi. Dia hanya beberapa langkah di depan Yifang, memegangi jantungnya yang berdetak tidak karuan. Dia menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan "sakit jantungnya."

"Julie ya... kau mau sampai kapan begini? Bukankah impianmu sudah jadi kenyataan? Kau sudah bisa melihatnya setiap Selasa sampai Kamis?" tanyanya pada dirinya sendiri, "kalau kau bisa terus berpura-pura seperti sekarang, maka kau bisa terus disampingnya."

Yifang mendongakkan kepalanya. Dia barusan mendengar apa yang Julie ucapkan dalam bahasa Mandarin itu, dan bahasa Mandarin Yifang masih baik-baik saja meski dia sudah dua tahun di Seoul. Yifang mengerutkan dahinya.

"Tapi apa yang akan kulakukan kalau masa mengajarku sudah habis? Aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. Apa aku terlalu sok menjaga jarak, sehingga aku akan menyesal di kemudian hari? Andaikan aku biarkan dia sedikit mendekat padaku sehingga kami bisa bertukar kontak... arrrgh, Julie! Apa kau sudah sinting?"

"Lee Donghae..." desah Yifang.

"Iya, Lee Donghae! Aigo... bagaimana bisa begini? Aku sudah lama sekali menantikan kesempatan ini! Tapi sekarang aku malah terlihat bodoh di hadapannya! Kenapa gengsiku begitu tinggi? Kenapa aku tidak bisa sedikit saja menundukkan kepalaku? Tapi kalau agensinya tau, kalau Zhoumi oppa tau, aku bisa-bisa dipecat!!!"

"Kau tidak akan dipecat."

"Aku pasti dipecat! Kalau aku terlihat norak, atau terlihat maksudku di balik ini, aku pasti dianggap fans mereka yang mengejar KRYSD! Padahal aku suka Donghae! Dia benar-benar jauh lebih tampan jika dilihat secara dekat begini! Dulu aku pernah bingung menyukai dia atau Kyuhyun, tapi sekarang aku tau aku suka Donghae!"

"Kalau begitu kejar saja dia."

"Mana mungkin? Aku kan guru bahasa Inggris-nya! Aku tidak mungkin berpacaran dengan muridku sendiri! Aku bisa dipecat! Mau ditaruh mana mukaku ini? Kalau kesempatan ini terputus begitu saja, aku ingin mati!!! Yaaaaaaaaaa... Julie, kau sudah gila! Kau sedang berbicara dengan dirimu sendiri! Kau perlu mandi dan mendinginkan kepalamu!"

"Kalau Mimi tau, kau tidak akan dipecat kok, dia sangat pengertian. Kau bisa menjaga dirimu untuk tidak norak, itu sudah bagus sekali. Kau punya maksud di balik peranmu yang sekarang," ujar Yifang, "itu sama dengan kami yang pertama datang ke Seoul, Julie."

Julie tersentak. Dia menoleh dan melihat Yifang, dan tiba-tiba dia merasa sangat ngeri. Apa yang Yifang lakukan disini?

"Yifang, ada apa? Err... sejak kapan kau disitu?"

"Coba aku ingat-ingat... sekitar lima menit yang lalu? Aku mau mengembalikan ini ponselmu tertinggal."

Yifang menyodorkan ponsel Julie, dan Julie menepuk dahinya sendiri. Bagaimana dia bisa jadi seceroboh ini?

"Kenapa kau tidak mungkin berpacaran dengan muridmu sendiri? Kau daritadi tidak bicara dengan dirimu sendiri, tapi kau bicara denganku."

Julie mengerutkan dahinya dan matanya membelalak ngeri. Mana mungkin??? Dia merasa ingin mengubur dirinya sendiri di dalam tanah.

"Yifang... kau... dengar semuanya?" Tanya Julie, sudah bisa menduga jawabannya.

"Iya. Maaf, Julie, aku tidak bermaksud, tapi... tadi aku melihat wallpaper ponselmu... eh... tidak sengaja sih. Hae kan?"

Julie sekarang lemas. Dia duduk di kursi batu terdekat, yang langsung disusul Yifang. Yifang menepuk bahu Julie, sok perhatian.

"Julie, gwaenchana. Perasaan seperti itu jangan disimpan sendirian. Kau bisa menganggapku sahabatmu. Kau tau, maksud di balik peranmu yang sekarang... benar-benar kurang lebih sama dengan maksud kami datang ke Seoul dulu."

"Maksudmu?"

"Nah, biarkan aku yang bercerita sekarang..."

HANGENG'S POV

Malam itu, akhirnya resto sudah kututup. Aku menyuruh Xili menungguku sementara aku mengambil kunci mobil di atas. Ketika aku perlahan-lahan turun, kulihat Xili duduk di salah satu kursi, memijat-mijat kakinya. Dia selalu bilang dia tidak lelah, karena dia tidak ingin aku khawatir, karena dia ingin memberikan yang terbaik untukku. Dalam hati aku merasa bersalah, karena Xili berubah menjadi dewasa, ada positif, ada negatifnya, kurasa semuanya karena aku. Dulu ketika dia pacaran dengan Hae, dia tidak tahan dengan sikap dan kesibukan Hae, tapi aku berani jamin seratus persen kalau Hae memanjakannya, berbeda denganku. Sebenarnya apa sih yang kulakukan? Kalau aku memang pacarnya, harusnya aku tidak membuatnya menderita, membuatnya kelelahan seperti itu. Aku harus memikirkan cara untuk membuatnya refreshing sejenak. Hmm... ayolah, otak, berpikirlah...

"Oppa? Kenapa termenung disana?" pertanyaan Xili membuatku tersadar tiba-tiba.

"Ah, maaf. Ayo, kita pulang," ajakku.

"Oppa tidak lupa memberi Pipi makan, kan?"

"Sudah aku berikan barusan."

Kami masuk ke Mercedez-ku, lalu mengobrol santai seperti biasa. Tapi di balik itu, otakku masih bekerja keras memikirkan jenis refreshing yang pas. Xili tidak akan mengizinkanku asal menutup resto tentu saja.

"Oppa, sampai jumpa besok."

"Ng... Xili."

Aku menarik tangan Xili, mencegahnya turun. Dia memandangku kebingungan, tapi tersenyum.

"Apa, oppa?"

"Mianhae..." kataku tiba-tiba, terdengar bodoh dan aneh.

"Lho, kenapa minta maaf? Oppa jangan berpikiran yang aneh-aneh. Atau ada yang ingin oppa ucapkan padaku?"

Aku tidak mengucapkan apa-apa, aku hanya memandangi wajahnya. Berada di dekatnya, entah kenapa membuatku benar-benar bodoh. Apakah ini karena aku terlalu mencintainya, tapi aku jarang bisa mengungkapkannya?

"Oppa, saranghae..."

Xili memelukku, mengucapkan kata-kata yang seharusnya sering kuucapkan padanya. Aku hanya bisa membalas memeluknya, lalu membiarkan sosoknya berlalu dari hadapanku. Aku ini bodoh atau apa sih? Tiba-tiba ide brilian muncul di otakku. Benar juga ya! Aku berharap ide ini bisa berjalan lancar. Tanganku menekan nomor yang kuhafal di luar kepala, dan pada dering kelima, ketika aku putus asa, telepon itu diangkat.

"Leeteuk hyung, apakah aku mengganggu? Oh, di apartemen? Ng... aku ada sedikit rencana. Mau bersepeda hari Sabtu ini? Sebenarnya aku ada rencana untuk mengajak Xili refreshing, Cuma aku takut dia tidak mengizinkanku sembarangan menutup resto... iya, benar," kataku di ponsel, "itulah rencanaku, yang barusan diungkapkan hyung. Bisakah hyung mengajak sebanyak mungkin orang? Atau setidaknya hyung dan Suxuan? Ah, gomawo, hyung, aku selalu bisa mengandalkanmu! Iya... iya... sampai jumpa."

Aku tersenyum ketika menutup ponsel. Ini dia. Xili pantas mendapatkan semua ini. Untung saja Leeteuk hyung selalu bisa diandalkan. Itulah sebabnya kami semua menyayanginya sebagai hyung kami semua.

Hari Sabtu yang dinantikanpun tiba. Aku menunggu Xili, pagi-pagi benar di depan resto yang pintunya tertutup. Seperti biasa, jam setengah tujuh, Xili datang. Tapi dahinya langsung berkerut.

"Lho, oppa? Kenapa menunggu disini?" tanyanya bingung.

"Xili, hari ini kita tutup resto. Ayo kita bersepeda ke taman. Ini rencana Leeteuk hyung."

"Bersepeda? Kenapa begitu tiba-tiba? Kok aku tidak diberitau sebelumnya, oppa?"

"Soalnya itu juga rencana dadakan, Xili."

Aku tersenyum melihat Shindong yang memunculkan kepalanya dari Honda merah Heechul hyung. Di belakangnya menyusul Ford putih Leeteuk hyung. Berturut-turut kedua mobil itu berhenti tak jauh di depan kami. Dari mobil Heechul hyung aku bisa melihat Shindong dan Manshi, sedangkan dari mobil Leeteuk hyung, ada Suxuan di sampingnya.

"Aigo, Manshi, kau juga ikut! Tapi kau tidak memberitauku!"

"Hahaha... apa kau tidak heran aku bangun pagi hari ini?" Tanya Manshi sambil nyengir.

"Aku tidak menduganya, soalnya kukira kau punya jadwal."

"Hahaha... okelah. Ayo kita pergi."

Aku menggandeng Xili naik Mercedez-ku.

"Oppa, apa tidak apa-apa kita tidak buka resto hari ini?"

"Tentu saja, kan sekali-sekali. Aku juga merasa perlu pergi refreshing, dan kebetulan sekali Leeteuk hyung mengajakku bersepeda. Meskipun kita hanya beberapa orang, tapi lumayan kan," ujarku senang.

"Hmm... ya sudah, itu ide bagus juga sih, apalagi cuacanya cerah ini."

Kami mengikuti konvoi mobil Heechul hyung yang paling depan dan aku tepat menguntit di belakang mobil Leeteuk hyung. Kurasa taman yang akan dipilih Heechul hyung pastilah taman terbaik yang ada di otaknya. Tiba-tiba ponselku bergetar di tempat khusus untuk ponsel, dan aku melirik layarnya untuk tau ternyata Heechul hyung yang menelepon. Aku menekan Bluetooth di telinga kananku.

"Hyung... apa? Hah? Apa itu baik? Tapi kenapa tiba-tiba... ng... bagaimana hyung tau? Err... ne, ng... baiklah, hyung. Ne."

Sambungan telepon diputus, dan otakku penuh dengan setiap kata-kata yang diucapkan Heechul hyung barusan. Aku menyadari untuk yang kesekian kalinya, Heechul hyung mengerti isi hati dan pikiranku tanpa aku perlu banyak bercerita padanya. Aku sangat berterimakasih karena itu.

"Heechul oppa kenapa menelepon, oppa?" Tanya Xili.

"Ng... dia Tanya apakah tidak masalah kalau kita ganti tujuan taman. Aku sih serahkan saja padanya."

"Yang penting kita bisa bersama-sama. Kalau ada Shindong oppa dan Manshi, pasti suasana jadi ramai."

"Benar. Aku senang mereka mau ikut."

Tapi bukan itu yang tadi Heechul hyung bicarakan denganku. Ini lebih ke rencana untukku dan Xili. Akhirnya mobil di depan kami berhenti, jadi aku ikut memarkir mobilku. Aku turun dari mobil dan melihat taman ini, aku belum pernah kesini sebelumnya. Suxuan kelihatan sangat semangat, sudah menurunkan sepeda dari bagasi mobil Leeteuk hyung. Meski badannya kecil begitu, ternyata dia cukup kuat mengangkat sepedanya. Sepertinya gossip bahwa dia jago bermain wushu bukan Cuma isapan jempol. Lagipula mungkin dia juga membutuhkan refreshing di tengah jadwal padatnya syuting.

"Aku akan traktir tiketnya," putus Leeteuk hyung yang sudah berjalan menuju counter tiket.

Aku juga menurunkan dua sepeda dari bagasi mobilku, dan sekarang kami sudah membuat barisan tujuh sepeda.

"Aku sudah beberapa kali kesini, dan tamannya cukup luas, jadi kita bisa bermain dengan bebas," kata Heechul hyung.

"Ayo, kita lomba bersepeda!" ajak Suxuan.

"Ayo!!!" seru Manshi bersemangat.

Kami sama-sama masuk ke taman dan melihat ketiga cewek yang bersepeda dengan seru di depan kami, sedangkan kami para pria bersepeda santai di belakang.

"Ya, Manshi! hati-hati nanti menabrak!" Shindong mengingatkan.

"Aku tau, oppa!"

Tapi sepertinya Manshi hanya menganggap peringatan Shindong itu masuk telinga kiri keluar telinga kanan, karena dia masih saja ngebut di depan, meninggalkan Xili dan Suxuan jauh di belakang.

Heechul hyung menyenggolku, "Geng, nanti kau ambil jalan ke kiri ini, kalian akan keluar taman, dan nanti akan ke tempat yang menarik."

"Tapi bagaimana aku memisahkan diri dari kalian?" tanyaku heran.

"Gampang. Bilang saja aku menyuruhmu kesana duluan untuk menunggu kami, tau-tau nanti kami tidak muncul."

Lalu tiba-tiba kami mendengar suara gedebukan, dan ketika kami melihat jauh ke depan, Manshi terjatuh, dan Xili juga Suxuan sudah turun dari sepeda mereka. Kami mempercepat sepeda kami menuju mereka.

"Aish... sakiiiiiit," protes Manshi, terduduk di jalanan.

"Kok kau bisa jatuh, Manshi?"

Heechul hyung membantu Manshi berdiri. Kulihat sepeda Manshi tergeletak di pinggir jalan, ban depannya agak penyok.

"Aku tidak lihat tadi banyak batu disana, aku kan lagi ngebut, terus... yah..."

Aku memandangi luka di kaki Manshi dengan cemas, "aku akan ambilkan obat di kotak P3K."

Terakhir sebelum benar-benar menjauh, aku mendengar Manshi dan Shindong ribut lagi. Manshi menyalahkan Shindong yang katanya gara-gara Shindong ingin dia tidak jatuh, dia malahan jatuh, jadi dia sial gara-gara ucapan Shindong, sedangkan Shindong ngotot ini salah Manshi sendiri tidak mendengar nasehatnya. Aku berharap mereka bisa berdamai. Untung aku selalu siapkan kotak P3K di mobilku, dan sejurus kemudian aku sudah kembali ke rombongan. Manshi duduk di bangku taman ditemani Suxuan. Aku menyerahkan kotak itu pada Leeteuk hyung, yang pasti bisa mempergunakannya dengan efektif. Hyung yang cekatan langsung mengobati luka Manshi.

"Gimana nih, sepedanya rusak..."

"Lho, mana sepedanya?"

"Dibawa petugas taman, oppa. Katanya nanti disimpan dulu di pos, dan waktu pulang baru bisa kita ambil," jawab Suxuan.

"Itu sepedamu kan, Shindong.."

Shindong memandangku, "gwaenchana, aku bisa membawanya ke bengkel nanti hyung."

"Nah, sudah," kata Leeteuk hyung puas.

Aku melihat beberapa plester dan kapas di kaki Manshi, tapi kerjaan Leeteuk hyung memang sangat rapi. Dia berdiri dengan dibantu Xili.

"Jadi bagaimana dong, sekarang aku tidak bisa bersepeda lagi," keluh Manshi.

"Sama aku saja sini, kita berdua," ajak Shindong.

Manshi memandangi Shindong dan sepeda di sebelah Shindong dengan pandangan ragu.

"Memangnya bisa?"

"Kau ini aneh sekali, tentu saja bisa. Sudah, kau duduk tenang saja di belakangku sana."

Kami kembali naik ke sepeda kami, tapi focus kami sekarang ke pasangan Shindong-Manshi.

"Kau masih berat juga rupanya."

"YA! SHIN DONGHAE, beratku sudah turun 9 kg dari berat awal ketika aku datang ke Seoul!"

Kami tertawa melihat Manshi yang memukul Shindong. Akhirnya kami bersepeda dengan senang kembali (dengan Shindong yang sering nyaris jatuh), lalu makan siang, benar-benar bersantai dan melupakan kesibukan kami yang menunggu di luar sana. Ketika sudah jam lima sore, Heechul hyung menyenggolku dan memberiku isyarat sambil mengedipkan matanya. Aku mengangguk, tapi jantungku juga berdebar-debar. Apa Xili akan mengucapkan sesuatu yang kuharapkan, atau malah sebaliknya?

"Xili," panggilku.

Xili yang tadinya bersepeda agak depan, berhenti sejenak menungguku.

"Kenapa, oppa?" tanyanya.

"Ehm... Heechul hyung menyuruh kita menunggu mereka di satu tempat, nanti mereka akan menyusul."

Xili memandangi rombongan yang sudah bersepeda jauh di depan kami.

"Boleh saja. Memangnya oppa tau tempatnya?"

"Aku tau. Ayo."

Aku bohong. Aku Cuma tau arahnya, bukan tau tempatnya. Aku bersepeda ke arah sebaliknya, dan belok di arah yang tepat. Xili mengikutiku. Aku sedikit bingung ketika jalanan semakin menurun, dan suhu terasa agak sejuk.

"Oppa, kita mau kemana?"

"Tunggu sebentar lagi, kau akan lihat."

Soalnya aku juga tidak ada ide kami mau kemana sebenarnya. Tapi tidak sampai lima menit kemudian, pertanyaan kami terjawab dengan pemandangan yang terhampar di depan kami: danau. Aku bingung, bagaimana taman ini bisa menyambung ke danau? Aku tidak pernah tau soal ini.

"Whoaaa... oppa, ini tempat yang bagus sekali," ucap Xili, terdengar senang.

"Ayo, kita kelilingi danaunya."

Kami menikmati pemandangan menakjubkan ini. Danaunya luas, airnya berwarna biru jernih, bahkan kami bisa melihat ikan-ikan berenang di dalamnya! Yang lebih mengasyikkan, ternyata di daerah ini tidak ada orang sama sekali, jadi kami serasa memiliki tempat ini hanya berdua. Heechul hyung hebat. Ini pasti karena dia hobi menelusuri tempat yang tersembunyi.

"Oppa... coba lihat! Itu sunset!"

Kami berhenti di tepian danau, meletakkan sepeda kami di rerumputan dan duduk untuk memandangi matahari terbenam. Cahayanya yang kemerahan memantul di wajah Xili. Xili tersenyum, berkomentar tentang betapa indahnya pemandangan ini, sementara ini adalah sunset pertama yang dilihatnya.

"Xili, apakah kau senang menikmati pemandangan pertamamu ini denganku?"

"Tentu saja, oppa," jawab Xili.

Matahari yang perlahan tenggelam seolah ditelan danau memang terlihat sangat indah. Menikmati pemandangan ini dengan Xili di sampingku membuatku merasa tenang. Tapi... kalau aku belum tau jawabannya, aku masih belum bisa merasa aman...

"Oppa, mana yang lain? Ini sudah lama sekali, mereka masih belum datang..."

"Tunggu sebentar, coba aku telepon."

Sesuai dengan perkiraan Heechul hyung, Xili pasti akan menanyakan ini, dan yang perlu aku lakukan hanyalah meneleponnya. Dengan lugasnya (dan aku tau pasti itu jawabannya) Heechul hyung bilang mereka pulang duluan karena mereka punya jadwal malamnya.

"Xili, mereka sudah pulang. Mereka bilang mereka punya jadwal malam ini."

"Yah... sayang sekali Suxuan dan Manshi tidak lihat ini. Ya sudahlah, tidak apa-apa."

"Xili masih mau disini?"

"Sudah tanggung, kita lamaan saja disini oppa, lagian kan kita bersantai saja nih malam ini," jawab Xili.

Aku mengangguk setuju. Tapi... bagaimana mulai bertanya padanya?

"Oppa, kurasa lagu ini cocok untuk suasana malam ini."

Xili memutar salah satu lagu dari ponselnya. Ini lagu KRYSD, Believe. Aku mendapat ide. Aku berdiri dan mengulurkan tanganku pada Xili.

"Ayo, kita berdansa."

"Tidak... oppa, aku tidak suka berdansa."

"Aku akan membuatmu menyukainya."

"Aku juga tidak bisa berdansa."

Aku menarik tangannya dan membawanya berdiri. Aku memeluknya pada pinggangnya dan meletakkan tangan kirinya di punggungku.

"Aku akan membuatmu bisa," kataku.

"Aaah... dasar si oppa..."

Dan aku mengajarinya berdansa dalam hitungan-hitungan yang tepat, tapi dia memang sulit berdansa, berkali-kali menginjak kakiku.

"Tuh kan oppa... aku dulu juga sering sekali menginjak kaki Donghae oppa waktu dia mengajariku dansa."

Itu dia. Hatiku berdebar kencang.

"Xili..."

"Ng?"

"Apa Xili masih mencintai Hae?"

Gerakan kami terhenti. Aku merasakan genggaman tangannya semakin tegang.

"Kenapa oppa bertanya begitu?" tanyanya.

"Aku... kira kau cemburu kalau Hae sekarang sepertinya menyukai Julie... kau... masih mencintainya, kan?"

Dia mendesahkan nafas panjang.

"Oppa... aku... sudah melupakan Donghae oppa. aku pernah mencintainya, tapi hubungan kami memang tidak bisa dilanjutkan karena aku tidak bisa menerima beberapa sikap dan sifatnya... aku sendiri yang minta pisah, maka aku tau akibatnya. Aku tidak mencintainya lagi."

"Kau benar-benar tidak cemburu?"

"Tidak, oppa. aku kan sudah pernah bilang, yang aku cintai sekarang hanya oppa."

"Tapi... aku merasa aku tidak memberimu kebahagiaan, aku hanya membuatmu selalu lelah. Kalau dulu kau bersama Hae... pasti berbeda kan dengan sekarang?"

"Oppa... jangan bandingkan dirimu dengan Donghae oppa. asal oppa tau, aku sudah cukup bahagia dengan bisa bersama oppa setiap hari, dan rasa lelah tidak bisa mengalahkan kebahagiaanku itu," ujar Xili.

"Mianhae... Xili..."

"Minta maaflah karena oppa sudah membuatku kecewa dengan mengatakan aku masih mencintai Donghae oppa, padahal di hadapanku hanya ada oppa seorang."

"Maaf..."

"Gwaenchana, oppa. harusnya aku yang minta maaf."

"Kenapa?"

"Karena aku menginjak kaki oppa terus."

Kami tertawa bersama. Setelah beberapa lama waktu berjalan, kelihatannya Xili sudah lumayan jarang menginjak kakiku lagi. Aku melirik ke langit yang sudah berubah warna menjadi pekat, tapi bintang-bintang yang bersinar membuat langit itu terlihat indah. Aku melirik sepeda yang tergeletak, lalu ke danau yang airnya sedikit beriak. Aku mengambil salah satu sepeda.

"Xili, mau keliling sekali? Kita naik satu sepeda?" tawarku.

"Boleh, oppa. tapi... apa bisa? Sepeda itu tidak bisa membonceng orang..."

"Duduk sini di depan, bisa kok."

Xili terlihat ragu, tapi dia duduk di batang sepeda. Aku duduk tegak dan berusaha menjaga keseimbangan.

"Gyaaah, oppa, seram..."

Kedua tangannya memeluk pinggangku, kepalanya tepat di dadaku. Aku bahkan bisa mencium bau wangi rambut panjangnya.

"Nikmati sajalah..."

Lama-lama Xili sudah bisa tertawa, terbiasa dengan keadaan ini, meskipun terkadang aku masih goyang untuk menjaga keseimbangan.

"Lho, oppa, kenapa berhenti?" Tanya Xili bingung.

Kedua matanya yang besar memandang lurus ke mataku. Cahaya bintang di atas sana terpancar lewat binar matanya. Xili sangat cantik, sangat sempurna.

"Xili, wo ai ni..."

Aku menempelkan bibirku di bibirnya yang kecil, dan dia menyambut ciumanku. Aku tidak pernah merasakan cinta yang begini besar bergelora dalam diriku, karena itu kini kutumpahkan perasaanku untuknya. Kuingin dia tau, aku tidak pernah rela memberikannya untuk orang lain, sekalipun itu Hae. Dia adalah orang yang paling ingin kulindungi. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa. Xili yang pernah menghancurkan hidupku dulu, kini dalam pelukanku... dan tidak akan pernah kubiarkan pergi lagi.


I was so fortunate to able to meet you

Because you'd make me smile by just being near

I could find you even if you go far away over there

Because you're smiling inside of me

Dear Diary,

Akhirnya pemilihan guru menari untuk mendampingi kami selesai juga. Meskipun berat dan membuat Meifen kecewa, aku dan Hyuk sepakat memilih Yingmin. Bukan kenapa, tapi kemampuan Yingmin memang di atas Meifen, mau betapa susahnyapun Meifen berusaha. Kuakui Meifen memang murid terbaik di tempat kursus kami, tapi dia agak lemah di balet dan tari tradisional. Dan yang kami butuhkan adalah guru yang multi talenta, maka pilihan kami jatuh di Yingmin.

Yingmin bisa semua tarian, bahkan tari tradisional China dan Korea, setidaknya dia menguasai masing-masing sepuluh jenis tarian. Kurasa aku bisa tenang memberinya beberapa kelas khusus. Tapi masalahnya... aku memang melihatnya agresif terhadap Yesung hyung, dan aku sedikit khawatir juga. Aku harap kami bisa mengendalikannya sebelum dia membuat Yesung hyung kesal. Yah, lihat saja nanti bagaimana...

Shindong (August)

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun