Mohon tunggu...
yulia anna
yulia anna Mohon Tunggu... Karyawan swasta dan hobby menulis

Satu Keyakinan "berhasil"

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sssstt... Jangan Ribut, Sarung Bapak Bolong

14 Mei 2020   12:26 Diperbarui: 14 Mei 2020   12:30 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah rumah sederhana berdiri dipinggir sawah yang menghijau. Kami sering menyebutnya Rumah MeWah alias Rumah Mepet Sawah. Sungguh pemandangan asri nan segar yang tidak semua orang dapatkan. Dan aku, sangat beruntung hidup didesa. Lahir ditempat yang benar-benar jauh dari hiruk pikuk perkotaan akan selalu kurindukan.

Rutinitasku sebagai mahasiswa di Yogyakarta membuatku harus meninggalkan desa ku untuk beberapa tahun. Dan kini, ramadhan yang ku tunggu telah hadir. Pulang ke desa selama Ramadhan adalah bonus liburan terindah sebagai mahasiswa yang harus menuntut ilmu dikota yang jauh dari Rumah MeWah ku.

Burhan, begitulah nama panggilan orang-orang untuk Bapakku. Beliau termasuk orang yang cukup cakap dan kreatif. Itu sih menurutku. Selain sebagai karyawan Pabrik Gula (PG) dikotaku, Bapak juga bertani. Waktu senggang setelah bekerja di PG, Bapak manfaatkan pergi ke sawah sekedar untuk melihat perkembangan sawah kami. Ciri khas Bapak adalah memakai sarung. Maklum Bapak lulusan pesantren. Kemana-mana pergi dengan memakai sarung.

Dan pagi itu, adalah hari pertama kami berpuasa. Kebetulan pula jatuhnya tepat pada hari Minggu. Bapak libur bekerja di PG. Beliau duduk santai dikursi teras rumah. Dan aktivitas kami hanya santai dirumah. Aku dan adik-adikku bermalas-malasan didepan TV.

"Vi, kamu sedang apa?" Tanya Bapak.

"Nonton TV, Pak?" Jawabku

"Bapak minta tolong, kalau kamu mau nyuci baju sekalian sarung Bapak yang dikamar di cuci ya."

"Ya, Pak."

Sesaat kemudian, aku memenuhi permintaan Bapak. Mencuci baju kotor yang aku bawa dari Yogyakarta kemaren dan termasuk sarung Bapak. Sebenarnya, mencuci adalah pekerjaan membosankan bagiku. Aku lebih senang dan menikmati menyetrika. Karena saat menyetrika, aku bisa duduk melantai sambil melihat acara TV. Apalagi pas cucian sedang banyak-banyaknya. Menyetrika dan melihat TV, membuat pekerjaan lama tak terasa lama.

Satu persatu baju aku setrika. Acara TV pun  masih setia menemani. Sambil tertawa-tawa, proses menyetrika tetap berjalan. Kedua adikku pun ikut tertawa melihat acara TV itu.

"Kak, kok harum. Kakak semprot apa itu." Tanya adikku

"Kakak pakai RxxxxA. Enak ya baunya?"

"Iya kak. Bajuku sekalian kak." Bergegas adikku yang perempuan mengambil bajunya.

"Punyaku juga kaaaak." Adikku yang satunya tak mau ketinggalan

"Haduuuhhh, setrikaan kakak masih menumpuk nih. Besok aja." Ucap ku

"Ayolah kak. Aromanya enak itu kak. Nanti kalau habis gimana kak. Bajuku gak kebagian disemprot pengharum bajunya dong.?" Adikku mulai merajuk

"Huh.. Entar aja. Terakhir. Ini aja masih belum separuh kok. Nonton TV aja dululah. Lucu tuh si Sule."

Acara komedian terkenal Sule memang paling bisa mengocok perut penonton.  Saking asyiknya menonton, tanganku berhenti sejenak. Kemudian tertawa bersama kedua adikku. Tanpa kusadari, setrika yang masih menyala maksimal itu masih menempel ke kain yang aku setrika. Hingga beberapa saat kemudian aku tersadar dan terkejut bukan main,

"Hah, gosong?" cepat-cepat ku angkat setrika dan aku minimalkan setelannya dan burur-buru aku cabut kabelnya.

Mendengar ucapanku, kedua adikku melihat kearahku.

"Loh, kak. Itu sarung Bapak." Ucap adikku seketika melihat sarung Bapak sudah bercap setrika.

"Iya, kak". Adikku yang satunya mendekat dengan wajah cemas.

Aku masih terdiam dengan wajah yang mungkin lebih mencemaskan dari wajah adikku. Aku mengangkat kain yang aku setrika yang ternyata itu adalah sarung Bapak. Dan aku melihat cap yang benar-benar jelas gambar bekas setrika yang tengahnya membuatku semakin syok.

"Ya ampun, tengahnya bolong dik?" Aku garuk-garuk kepala dicampur dengan wajah cemas takut dimarahi Bapak. Ku angkat pelan-pelan sarung Bapak itu untuk memastikan seberapa besar bolongnya. Sedikit ku tutul bolongan itu dengan jariku. Namun tiba-tiba, kain gosong disekitar bolongan malah ikut patah saking gosongnya dan serpihan kain gosongnya berjatuhan. Kedua adikku menatap serpihan kain gosong diatas lantai. Dan tiba-tiba..

"kwkwkwkwk..." Kami bertiga tertawa.

"Tambah besar bolongnya kak?" Kata adikku terpingkal-pingkal.

"Kwkwkwkw.." Kami semakin tertawa tanpa merasa berdosa sedikitpun.

"hush, jangan tertawa terus. Jangan ribut....." Belum selesai aku bicara, jari adikku yang satunya dimasukkan ke lobang sarung yang gosong itu. Lucu, dan...

"Kwkwkwkwkw.." Kami tertawa terpingkal-pingkal lagi.

"Sudah. Sudah. Jangan tertawa terus. Ketahuan Bapak nanti." Ucapku sedikit lirih

"Terus gimana kak."

"Kakak umpetin aja sarung Bapak di lemari kakak." Ucapku sok tenang

"Kalo Bapak nyari gimana?"

"Ya, sudah. Ngaku aja kalo sarungnya bolong karena setrika." Kamipun kembali tertawa.

"Sssstt.. Jangan ribut ya. Jangan bilang kalau sarung Bapak bolong. Biar kakak aja nanti yang bilang. Kamu berdua diam aja pura-pura tidak tahu. Ok." Pintaku pada adik-adikku.

Pada malam harinya, setelah sholat teraweh aku mengakui kesalahan pada Bapak. Kalau salah satu sarungnya bolong gara-gara aku setrika sambil nonton acara TV yang lucu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun