Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fatwa MUI tentang Pemilu, Syarat Pemimpin, dan Golput

1 Februari 2024   08:00 Diperbarui: 1 Februari 2024   08:02 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, Memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

Ketiga, Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib

Kelima, Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Kelima poin fatwa itu merupakan guidance bagi umat Islam dalam menyikapi Pemilu sebagai hajat bersama dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara (diktum pertama), status hukum memilih (diktum kedua), syarat-syarat pemimpin yang ideal serta implikasi hukum dari pilihan sikap politiknya (diktum ketiga, keempat dan kelima).

Pemilu dan Memilih Pemimpin 

Terkait kedudukan Pemilu, fatwa MUI menetapkan dua hal penting. Pertama, bahwa Pemilu merupakan ikhtiar bersama sebagai bangsa untuk memilih pemimpin baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kedua, Pemilu diselenggarakan untuk tujuan mewujudkan cita-cita bersama sesuai aspirasi umat (Islam) dan kepentingan bangsa (seluruh rakyat Indonesia).

Dalam konteks ini penting untuk diingat kembali, bahwa Al Quran tidak memerintahkan secara eksplisit tentang bagaimana cara atau mekanisme memilih pemimpin. Demikian pula halnya Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya menyebutkan sejumlah prinsip dasar soal kepemimpinan, misalnya kewajiban memilih pemimpin dan prinsip musyawarah dalam memilih pemimpin.

Selain itu Nabi Muhammad juga tidak menunjuk siapa calon penggantinya, meski secara nasab kekeluragaan dan/atau kekerabatan, Ali bin Abi Thalib tentu sangat mungkin dipersiapkan atau dikader sebagai kandidat penggantinya. Ali adalah menantu sekaligus putra pamannya. Jadi, Islam tidak mewariskan sejarah politik kedinastian.

Itu sebabnya, empat khalifah pengganti (khulafa al rasyidin) kepemimpinan beliau sebagai pemimpin politik dipilih melalui mekanisme yang berbeda. Abu Bakar Asshidiq dipilih melalui musyawarah langsung oleh para sahabat Muhajirin dan Anshor. Umar bin Khatab ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya (Khalifah Abu Bakar) namun setelah melalui proses musyawarah dan masukan secara deliberatif dengan para sahabat utama. Utsman bin Affan dipilih secara tidak langsung oleh suatu badan atau komisi yang terdiri dari 6 sahabat utama. Dan Ali bin Abi Thalib dipilih secara aklamasi dalam situasi darurat kepemimpinan pasca kerusuhan yang menewaskan Khalifah Utsman bin Affan.    

Oleh sebab Pemilu merupakan ikhtiar wajib yang dilakukan untuk memilih pemimpin dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama tadi, maka status hukum memilih pemimpin kemudian menjadi wajib dalam rangka menegakan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun