Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Soal Debat, Demokrasi Menyediakan Cara untuk Berdamai

20 Desember 2023   13:28 Diperbarui: 23 Desember 2023   10:32 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: debat para pendukung. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Pasca Debat Capres Pertama kegaduhan sempat merebak di ruang-ruang digital. Pro dan kontra menyeruak di antara kegaduhan itu. 

Masyarakat yang cenderung kontra mempertanyakan efektifitas debat serupa itu, baik sebagai metode kampanye untuk meyakinkan pemilih maupun sebagai bagian dari pendidikan dan pendewasaan politik. 

Di antara mereka (tidak banyak sih) bahkan sampai pada kesimpulan, bahwa debat Capres tidak perlu. Hanya bikin gaduh, ribut, memicu pertengkaran warga dan merusak harmoni sosial.

Sejauh yang dapat dicermati, ada dua faktor pemicu munculnya pandangan dan sikap kontra debat tersebut. Pertama, situasi debat pertama berlangsung lumayan panas, saling menyerang, saling buka-bukaan kasus, dan dengan sendirinya memantik emosi. 

Kedua, suasana debat yang berlangsung panas itu kemudian menyisakan sejumlah residu yang mengalir ke berbagai ruang dan waktu pasca debat.


Dengan demikian, kiranya dapat diyakini bahwa sesungguhnya masyarakat khususnya para pemilih tidak mempersoalkan penyelenggaraan debat, apalagi alergi. Dan mestinya memang begitu. 

Bukan saja karena debat Capres telah diatur dalam undang-undang (Pasal 275 dan 277 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) dan merupakan tradisi demokrasi elektoral di manapun. Tetapi juga karena forum debat dibutuhkan berdasarkan nalar sehat politik kepemimpinan.

Mengapa forum debat dibutuhkan?

Dalam Kamus Bahasa kita dijelaskan, bahwa debat adalah pertukaran dan pembahasan pendapat terkait suatu hal dengan saling menyampaikan argumentasi atau alasan dengan tujuan mempertahankan pendapat bahkan memenangkan pendapat.

Dalam konteks Pilpres atau pemilihan pemimpin level apapun, pertukaran dan pembahasan berbagai isu bersama dengan argumentasi-argumentasi meyakinkan dari para pihak kandidat ini penting tentu saja. Terlebih dalam forum kontestasi kepemimpinan puncak negara.

Untuk apa? Supaya rakyat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang sosok calon pemimpinnya. Siapa mereka? 

Sebesar apa kapasitasnya, sejauh apa pengalaman dan kompetensinya, sevisioner sekaligus serealistis apa gagasan dan pikiran-pikirannya, dan semeyakinkan apa tawaran mereka untuk rakyat.

Dengan cara demikian rakyat tidak dihadapkan pada situasi "membeli kucing dalam karung" sebagaimana lazimnya terjadi dalam tradisi negara-negara non-demokratik atau negara otoriter. 

Pemilu hanya menjadi instrumen untuk mempertahankan legitimasi status quo kekuasaan dengan cara mobilisasi habis-habisan dan meminggirkan nalar sehat rakyat.

Apa yang harus diperdebatkan?

Penting untuk selalu disadari bahwa tidak ada kepemimpinan politik yang sempurna, dimanapun dan di era peradaban sejarah apapun. Ketidaksempurnaan adalah taqdir purbawi manusia, termasuk para pemimpin. 

Demokrasi hadir antara lain untuk mengelola ketidaksempurnaan kepemimpinan itu dengan cara berkeadaban. Dan Pemilu (termasuk forum debat Capres sebagai bagian dari matarantai perhelatan) merupakan instrumen operasionalnya.

Lantas apa yang perlu diperdebatkan (dipertukarkan dan dibahas dengan kritis) dalam suasana dialelktis? Sudah barang pasti semua aspek yang muncul dari ketidaksempurnaan kepemimpinan politik itu. 

Dalam konteks Indonesia kontemporer, Jokowi-Ma'ruf dan para pembantunya di kabinet tentu saja sudah berbuat banyak untuk rakyat.

Tetapi tidak semua kebijakan dan program pemerintahan Jokowi itu baik dan memihak pada kebutuhan rakyat serta selalu menguntungkan negara. 

Setidaknya demikian dalam pandangan dan penyikapan sebagian masyarakat. Pandangan dan sikap kontra ini tentu harus dihargai sebagai bentuk keragaman pikiran dan apsirasi yang dijamin konstitusi, sekaligus bagian dari upaya menghidupkan terus nalar kritis dan obyektif dalam tradisi demokrasi.

Penghargaan terhadap pandangan dan sikap yang sama juga wajib diberikan kepada masyarakat yang pro terhadap capaian-capaian pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. 

Termasuk ketika mereka, dengan berbagai cara dan strategi berusaha membela habis-habisan. Inilah demokrasi, inilah cara sebuah bangsa berdialektika untuk menghadirkan masa depan yang lebih baik bagi sesama.

Dalam forum debat Capres-Cawapres sebagian bagian dari rangkaian kontestasi untuk merebut kepercayaan dan mandat rakyat, standing position masing-masing pihak kandidat itu perlu ditunjukkan secara terbuka, elegan dan berkeadaban.

Bagaimana cara pikiran dan sikap itu diperdebatkan?

Bagaimana cara dari ragam pikiran dan sikap yang saling berhadapan secara diametral itu diperdebatkan, diadu dan dikonfrontir, tentu urusan KPU sebagai penyelenggara. 

Tetapi satu hal yang perlu diingatkan bahwa aspek teknis jangan sampai kemudian mengurangi makna dan substansi debat sebagai ajang pertukaran (dialektis) dan pembahasan (kritis) berbagai isu kebangsaan dan kenegaraan.

Poin ini perlu dikemukakan karena banyak pihak yang nampaknya berusaha mereduksi metode debat, misalnya dengan cukup penyampaian visi misi serta gagasan-gagasan programatik para kandidat. 

Atau, silakan saling sanggah tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu baik terkait aspek-aspek sensitif dari isu debat maupun pilihan cara artikulasi. 

Dalam kaitan ini, yang harus disepakati untuk dijaga dan ditegakkan oleh masing-masing kubu cukuplah soal etik dan keadaban (kepatuhan pada regulasi). Etik, bukan "ndasmu etik!"

Jika model demikian digunakan, debat akan kehilangan makna sebagai forum untuk mengeksplorasi sedalam-dalamnya melalui pola dialektis agenda-agenda strategis kebangsaan dan kenegaraan antar kandidat.

Cara demikian juga cenderung akan menyelubungi ragam problematika, kekeliruan pengambilan kebijakan, kesalahan-kesalahan fatal tatakelola pemerintahan, serta pekerjaan-pekerjaan rumah berat yang harus diselesaikan ke depan, yang rakyat harus mengetahui dan faham seutuh mungkin.

Di sisi lain, rakyat juga tidak akan bisa membaca dan menilai gagasan-gagasan alternatif, pikiran-pikiran antitesis dari kandidat yang berada di posisi "challenger". Jangan-jangan gagasan dan pikiran para penantang justru tidak lebih baik, tidak meyakinkan, dan tidak menghidupkan optimisme sama sekali.

Bahwa dengan metode debat eksploratif (dengan catatan tadi : etik ditegakkan dan dijaga oleh masing-masing kubu dan kandidat) kemudian muncul percikan-percikan emosi para kandidat dan memicu hawa panas, inilah konsekuensi kita memilih demokrasi sebagai cara hidup berbangsa dan bernegara. Ini pula konsekuensi sebuah kontestasi. Kontestasi politik pula.

Dengan cara pandang lain, percikan emosi dan situasi panas itu bahkan bisa menjadi salah satu parameter untuk mengukur kepantasan dan kelayakan figuritas seorang kandidat untuk dipilih atau diabaikan. 

Percikan emosi ini maksudnya tentu, baik pemicu maupun reaksi. Publik bisa melihat siapa memicu dan dengan cara bagaiman ia memicu emosi lawan, serta siapa bereaksi dan dengan wajah macam ia bereaksi terhadap lawan. Publik bisa menilai siapa yang pantas diberi angka 9 atau 2 dalam skala 1-10.

Terakhir, tidak  usah paranoid dengan situasi panas dan munculnya percikan-percikan emosi dalam debat. Demokrasi bukan saja memberi ruang untuk bertengkar, tetapi juga menyediakan cara untuk berdamai pada akhirnya.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun