Yogyakarta, KLA Project
pulang ke kotamu
ada setangkup haru dalam rindu
masih seperti dulu
tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
terhanyut aku akan nostalgia
saat kita sering iuangkan waktu
nikmati bersama suasana jogja
di persimpangan langkahku terhenti
ramai kaki lima
menjajakan sajian khas berselera
orang duduk bersila
musisi jalanan mulai beraksi
seiring laraku kehilanganmu
merintih sendiri
ditelan deru kotamu
Siapapun akan terhanyut dengan bait-bait lirik lagu Yogjakarta yang dibuat oleh band keren KLA Project. Â Begitupula saya, saat berkendara sepanjang malam melintas antara Solo-Klaten menuju Yogya. Berulang-ulang lagu hits (tahun 90 an) ini saya putar. Sampai teman seperjalanan geleng-geleng kepala.Â
Katon Bagaskara, sebagai front man, penulis lagu dan vokalis (kadang juga bermain gitar) menyajikannya dengan sangat  sentimentil.  Bait-baitnya menggambarkan kerinduan mendalam pada Yogjakarta. Kota yang sedang saya tuju malam ini. Karena besok siang saya ikut sebagai peserta Seminar Cagar Budaya di UGM.
Tak cukup memang menggambarkan luasnya Yogyakarta dengan pernak-perniknya dalam sebuah lagu. Â Namun, saat mendengar lagu Yogjakarta ini, saya berimajinasi sedang berjalan-jalan melewati sebuah ruas jalan di pusat kota Yogjakarta. Â Bukan sembarang jalan. Tapi sebuah jalan paling fenomenal di Yogjakarta.. Ya, itulah Malioboro, yang pagi ini saya sudah berdiri di atasnya. Â
Menyajikan segala kebutuhan pelancong mulai dari sandang, pangan maupun papan. Karena disini berjajar PKL penjual batik, kaos, tas, sepatu, blangkon. Serta terhampar  banyak lesehan yang menyiapkan hidangan aneka rupa. Termasuk sudut-sudut yang menjajakan cinderamata tentunya. Homestay, penginapan, hotel juga tersedia di sepanjang jalan ini. Jadi, belum ke Yogya kalau belum mampir ke Maliboro, begitu cetus para traveler. Ya, karena Malioboro adalah salah satu simbol dan identitas Yogyakarta!
Pagi di Malioboro
Sengaja, kali ini saya pagi-pagi ke Maliboro. Ingin suasana baru. Tidak seperti biasanya, Malioboro selalu jujukan terakhir. Â Menghindari pedestrian yang penuh sesak oleh anak-anak muda dan dewasa yang hilir mudik. Menghindari becak-becak yang selalu menawarkan wisata belanja. Termasuk menghindari tawaran pada pedagang di sepanjang lorong toko sepanjang Jalan Malioboro.
Lalu, perlahan saya lanjutkan langkah kaki menuju  patung Singa. Suasana  jalan utama masih relatif sepi.  Hanya beberapa mobil, becak dan dokar (andong) khas Yogya yang melintas. Namun, aktifitas di trotoar  agak mulai mengeliat. Beberapa pemilik lapak mulai membersihan wilayahnya. Kios-kios mulai dibuka. Tapi, pintu toko-toko masih tertutup rapat. Penjaja makanan kaki lima mulai  menata hidangan. Beberapa penduduk lokal asyik olahraga jogging, lari-lari kecil sesekali berjalan, sepanjang pedestrian. Hmmm.....pagi yang  menyenangkan di Malioboro. Tidak hiruk pikuk seperti biasanya. Coziest banget!
Segera, saya berjalan menyusuri sepanjang pedestrian. Sambil sesekali celingukan ke sana kemari. Â Mengamati lapak para penjual makanan yang mulai mengais rezeki. Barangkali ada sajian yang cocok dihati. Akhirnya, berhenti juga di sebuah lapak yang menyajikan nasi putih dengan sayur kembang turi, sawi, kacang panjang dan kecambah plus lauk telor mata sapi yang diguyur bumbu pecel. Rasa bumbunya manis agak pedas. Mirip-mirip rasa pecel madiun. Tidak lupa selembar peyek kacang saya ambil sebagai pelengkap sarapan pagi. Betul kata Katon Bagaskara, sangat pas menikmati Yogyakarta dengan sajian berselera!
Maju sekitar 20 meter dari gerbang Vredeburg, akan tiba di sebuah perempatan besar. Itulah Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Tempat ini, saat siang sampai malam, tak pernah sepi dari pengunjung. Tentunya sangat susah untuk mengambil foto spot menarik yang bebas dari pelancong. Â Untung, kali ini saya memutuskan ke Malioboro pagi hari. Sehingga lebih santai dan nyaman. Mau berfoto dengan latar mana saja, bebas merdeka!
Senyampang di Titik Nol, perhatian saya akhirnya tertuju pada sebuah monumen yang  dilingkupi pagar besi yang tertutup rapat. Ya, di dekat Titik Nol Yogyakarta , tepatnya di sisi kiri jalan ini telah dibangun Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Tempat ini adalah saksi bisu gigihnya pejuang-pejuang republik  mempertahankan kemerdekaan.Â
Saya membayangkan, bagaimana pasukan-pasukan Wehrkreise I,I dan III dengan gigih bergerak dari luar kota merangsek masuk kota dan bertempur sengit dengan tentara  Belanda yang menduduki Yogyakarta. Serangan dahsyat dan terencana itu akhirnya mampu melumpuhkan tentara Belanda. Pasukan pejuang mampu menduduki Yogyakarta selama 6 Jam. Walau hanya 6 jam, ini menunjukkan bahwa Republik Indonesia dan tentaranya masih eksis. Membuktikan pada dunia bahwa republik Indonesia masih tegak berdiri.Â