Setelah bayar 25 ribu pada driver online, saya  dan Sentot turun dari kendaraan yang mengantar  dari Pogung Raya,  tepat di ujung Jalan Malioboro.  Matahari belum naik. Belum bikin gerah. Agar nggak ketinggalan dengan yang lain, saya sempatkan foto di bawah nama Jalan Malioboro yang sangat ikonik. Ya, mumpung lagi sepi. Nggak ngantre di papan nama legendaris ini...... Biar gaul gitu lho!
Lalu, perlahan saya lanjutkan langkah kaki menuju  patung Singa. Suasana  jalan utama masih relatif sepi.  Hanya beberapa mobil, becak dan dokar (andong) khas Yogya yang melintas. Namun, aktifitas di trotoar  agak mulai mengeliat. Beberapa pemilik lapak mulai membersihan wilayahnya. Kios-kios mulai dibuka. Tapi, pintu toko-toko masih tertutup rapat. Penjaja makanan kaki lima mulai  menata hidangan. Beberapa penduduk lokal asyik olahraga jogging, lari-lari kecil sesekali berjalan, sepanjang pedestrian. Hmmm.....pagi yang  menyenangkan di Malioboro. Tidak hiruk pikuk seperti biasanya. Coziest banget!
Segera, saya berjalan menyusuri sepanjang pedestrian. Sambil sesekali celingukan ke sana kemari. Â Mengamati lapak para penjual makanan yang mulai mengais rezeki. Barangkali ada sajian yang cocok dihati. Akhirnya, berhenti juga di sebuah lapak yang menyajikan nasi putih dengan sayur kembang turi, sawi, kacang panjang dan kecambah plus lauk telor mata sapi yang diguyur bumbu pecel. Rasa bumbunya manis agak pedas. Mirip-mirip rasa pecel madiun. Tidak lupa selembar peyek kacang saya ambil sebagai pelengkap sarapan pagi. Betul kata Katon Bagaskara, sangat pas menikmati Yogyakarta dengan sajian berselera!
Batas jalan Malioboro (dok.pribadi)
Selepas sarapan, kaki kembali melangkah sepanjang pedestrian yang masih sepi pelancong. Pusat Informasi dan Pasar Beringharjo saya lewati. Langkah terhenti saat berada di depan bangunan cagar budaya yang saling berhadapan. Di kanan ada  gedung megah. Pintu gerbang besinya tertutup rapat. Sang Merah Putih berkibar di tiang di tengah halaman gedung kokoh bergaya Eropa. Itulah rumah dinas Gubernur Yogyakarta. Sedang di kiri, pintu gerbang terbuka lebar. Terhampar pelataran yang luas. Tepat di ujung, di tengah-tengah pelataran, ada bangunan berupa gerbang masuk. Bertuliskan, Vredeburg. Itulah, benteng peninggalan kolonial di tengah kota Yogyakarta, Akhirnya, kakipun melangkah masuk ke sana dan menjelajahinya.Â
Masih lengang (dok.pribadi)
gerbang Vrederburg (dok.pribadi)
Kantor Gubernur DIY (dok.pribadi)
Hampir 1 jam, berkeliling di dalam benteng Vredeburg.  Banyak oleh-oleh menarik dari  tempat ini. Kapan-kapan saya tulis di artikel tersendiri. Saya dan Sentor pun bergegas melanjutkan langkah kaki. Tujuannya menuntaskan Jalan Malioboro dari ujung ke ujung. Namanya saja backpacker. Kelilingnya ya harus jalan kaki!. Asal nggak jauh-jauh amat. Ternyata, Jalan Malioboro memang ujungnya ada di dekat dua Gedung Cagar Budaya ini. Dulunya, bernama Jalan Ahmad Yani. Sekarang jadi Jalan Margo Mulyo.Â
Maju sekitar 20 meter dari gerbang Vredeburg, akan tiba di sebuah perempatan besar. Itulah Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Tempat ini, saat siang sampai malam, tak pernah sepi dari pengunjung. Tentunya sangat susah untuk mengambil foto spot menarik yang bebas dari pelancong. Â Untung, kali ini saya memutuskan ke Malioboro pagi hari. Sehingga lebih santai dan nyaman. Mau berfoto dengan latar mana saja, bebas merdeka!
Senyampang di Titik Nol, perhatian saya akhirnya tertuju pada sebuah monumen yang  dilingkupi pagar besi yang tertutup rapat. Ya, di dekat Titik Nol Yogyakarta , tepatnya di sisi kiri jalan ini telah dibangun Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Tempat ini adalah saksi bisu gigihnya pejuang-pejuang republik  mempertahankan kemerdekaan.Â
Saya membayangkan, bagaimana pasukan-pasukan Wehrkreise I,I dan III dengan gigih bergerak dari luar kota merangsek masuk kota dan bertempur sengit dengan tentara  Belanda yang menduduki Yogyakarta. Serangan dahsyat dan terencana itu akhirnya mampu melumpuhkan tentara Belanda. Pasukan pejuang mampu menduduki Yogyakarta selama 6 Jam. Walau hanya 6 jam, ini menunjukkan bahwa Republik Indonesia dan tentaranya masih eksis. Membuktikan pada dunia bahwa republik Indonesia masih tegak berdiri.Â
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
dok.pribadi
Nyruput Teh Panas.... (dok.pribadi)
Akhirnya, matahari pun makin tinggi. Terasa ada lelehan peluh di leher dan wajah. Saya lihat arloji. Ternyata, sudah saatnya saya harus kembali ke penginapan di Pogung Raya. Tapi, sekedar untuk menuntaskan suasana Yogya, saya sempatkan pesan teh panas pada penjual minuman dekat Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Minum teh panas sambil melihat orang lalu lalang yang tak begitu padat di jalan-jalan Yogyakarta membuat penat terasa berkurang. Nggak percaya, coba saja. Hanya satu yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa namanya Malioboro....nama yang bukan Yogya banget atau Jawa banget. Pasti seru menelusuri sejarahnya...Tunggu artikel berikutnya........ Â Pulang Ke Kotamu....