Mohon tunggu...
Julian Haganah Howay
Julian Haganah Howay Mohon Tunggu... Freelancer - Journalist and Freelance Writer

Journalist, freelance writer and backpacker. "Menulis untuk pencerahan, pencerdasan dan perubahan.."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sosialisme Untuk Pembebasan Papua

31 Maret 2016   14:56 Diperbarui: 1 April 2016   20:48 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ritme organisasi perjuangan Papua Barat secara struktural juga masih mengidap penyakit Elitisme-Feodal dan Patronisme. Ini terlihat dari kecenderungan dominasi figur yang berasal dari tipe kepemimpinan tradisional lama: kepala suku, ondoafi dan raja. Hubungan Patronisme tampak dari pengkultuskan pimpinan dan senioritas. Pemimpin tertinggi dianggap  penggerak utama organisasi. Keputusan pimpinan dan aktor senior adalah perintah yang harus diikuti, meskipun tidak melalui mekanisme pembuatan keputusan secara ‘colective-comrade’ dan demokratis.

Secara eksternal, terdapat ego faksional dan elitis yang kuat antara pimpinan faksi/organisasi perjuangan. Kondisi multi faksi di tubuh organisasi perjuangan serta perbedaan-perbedaan yang ada telah menyebabkan sulit terbentuknya front persatuan bersama yang dapat bekerja secara kontinyu dan progresif. Hal ini lantas berdampak pada program-program perjuangan bersama yang telah dirumuskan untuk dikerjakan menjadi terhenti di tengah jalan (mandek). Front bersama pun mati suri atau perlahan bubar karena satu dan lain hal.   

Dari aspek ideologis sebagai filosofi penggerak perjuangan, sejumlah organisasi/faksi perjuangan masih terjerumus ke dalam praktik-praktik perjuangan Magis, Mistifikasi dan Utopia. Ini bisa dicermati dari bentuk-bentuk perjuangan politik bermotif gerakan ‘Cargoism-Mesianism’ lama yang bermetamorfosis ke bentuk baru sebagai hasil percampuran (singkretisasi) agama-agama suku dan kebudayaan orang Papua dengan ajaran-ajaran (ritus) theologi keselamatan, pembebasan dan kebahagiaan yang diperoleh dari luar.

Gerakan tersebut bersifat utopia karena merindukan datangnya sang Mesianis, Nabi, Imam Mahdi dan Ratu Adil yang membawa visi pembebasan. Perkembangan gerakan ini dalam kaitan dengan gerakan politik Papua Merdeka (Pembebasan Nasional) cukup mengalami kemajuan dalam bentuk baru dari yang lama berbasis budaya dan agama suku. Karena berkolaborasi dengan ajaran-ajaran teologi Kristen-Barat yang mengajarkan tentang datangnya zaman baru pembebasan dan zaman bahagia yang seolah-olah disamakan dengan sejarah teologi pembebasan bangsa Yahudi-Israel.

Dari aspek karakter kepemimpinan, gerakan ini bersifat ‘Patronisme’. Sebab mengandalkan visi pewahyuan yang bersifat abstrak dan transendental dari pemimpinnya yang berlatar belakang seorang teolog atau dianggap memiliki karakter kharismatis. Disini visi pewahyuan dalam bentuk mimpi atau pengalaman emosional-spiritual dari sang pemimpin yang terkait dengan perjuangan politik Papua biasanya dijadikan pegangan dan petunjuk menuju pembebasan. Meski tidak memiliki visi-misi perjuangan yang kongkrit.     

Pasang surut perjuangan pembebasan nasional Papua juga diwarnai pertarungan antara kelompok gerakan Papua yang di dalamnya terdapat aktor-aktor yang memiliki visi ideologi yang berbeda. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam faksi-faksi pergerakan Papua terdapat kaum penganut ideologi Nasionalis Pragmatis, Liberal Kapitalisme, Theologis Konservatif, Nasionalis Kulturalisme, Demokratik-Kerayaktan, Sosialisme-Komunis, hingga mereka yang menganut ideologi ganda (dualisme ideologi) atau lebih.

Perbedaan visi ideologis semacam itu, baik dalam organisasi/faksi perjuangan maupun aktor-aktornya telah menyebabkan kebingungan untuk meletakan landasan filosofis perjuangan dan ideologi Negara Papua Barat yang ideal atau sejalan, berakar kuat dan menjiwai cita-cita pembebasan nasional. Perbedaan visi ideologis inilah yang diyakini menjadi salah satu faktor penelikungan dan penghambat perjuangan menuju cita-cita pembebasan nasional.      

Ketiga: Ketiadaan sosok pemimpin nasional Papua Barat sebagai figur pemersatu. Sosok pemimpin nasional yang kharismatis sebagai pemersatu rakyat Papua maupun segala komponen perjuangan memang sangat dibutuhkan ketika situasi perjuangan pembebasan hari ini mengalami krisis kepemimpinan. Sebab belum mampu mempersatukan 314 suku bangsa Papua yang bernaung dibawah beragam organisasi/faksi perjuangan yang masih berwatak primordialisme-kesukuan.

Ketokohan seorang pemimpin pemersatu memang sangat dibutuhkan sebagai penanggung jawab aktivitas politik nasional, terutama yang bersifat progresif revolusioner. Namun ketokohan sebagai figur pemersatu bukan lahir begitu saja. Atau diturunkan Tuhan dari langit sebagai seorang Mesias/Imam Mahdi/Nabi/Ratu Adil yang akan membebaskan rakyatnya yang tertindas.

Figur semacam itu lahir dari proses perjuangan yang rumit hingga terbentuk karakter yang ideal dan bisa diterima oleh seluruh komponen rakyat. Figur kharismatis pemersatu bukanlah manusia yang sempurna. Ia juga manusia biasa yang punya kekurangan dan keterbatasan sehingga butuh dukungan orang lain.

Dalam sejarah perjuangan pembebasan nasional bangsa-bangsa di dunia, keberadaan figur kharismatis pemersatu memang sangat diperlukan. Namun ia semata-mata tidak menjadi penentu perjuangan pembebasan nasional. Karena perjuangan pembebasan nasional sesungguhnya harus bertumpu pada kekuatan rakyat tertindas (garis massa) yang militan dan sadar pada ideologi maupun cita-cita perjuangan serta terorganisir dalam organisasi perjuangan yang revolusioner. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun