Mohon tunggu...
Julian Haganah Howay
Julian Haganah Howay Mohon Tunggu... Freelancer - Journalist and Freelance Writer

Journalist, freelance writer and backpacker. "Menulis untuk pencerahan, pencerdasan dan perubahan.."

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Memori Arfak Festival Yang Pertama

8 Februari 2016   22:30 Diperbarui: 9 Februari 2016   14:38 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan karakteristik itulah, Pemerintah RI di tahun 1992 telah menetapkannya menjadi kawasan Cagar Alam (CA) Pegunungan Arfak melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/1992 tertanggal 11 Agustus 1992. Kawasan ini mencakup 8 wilayah Distrik seperti; Menyambouw, Membey, Hingk, Tanah Rubuh, Warmare, hingga Ransiki dan Oransbari yang masuk dalam wilayah kabupaten pemekaran Manokwari Selatan. 

Secara historis Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) merupakan pemekaran dari Kabupaten Manokwari yang disahkan pada 25 Oktober 2012 berdasarkan UU RI Nomor 24 tahun 2012. Luas wilayahnya mencapai 2.773 km persegi dengan jumlah penduduk 23.887 jiwa dan mayoritas (99.8%) beragama Kristen. Kabupaten ini mayoritas di diami oleh suku besar Arfak yang terdiri dari 4 sub suku: Hatam, Meyah, Moire dan Soub. Keempat sub suku ini tersebar di 10 distrik (kecamatan) seperti: Anggi, Anggi Gida, Didohu, Minyamouw, Sururey, Taige, Testege, Catuouw, Hingk dan Membew.

Populasi orang Arfak juga menyebar hingga ke wilayah Kabupaten Tambrauw dan Manokwari Selatan. Sejak pemekaran Kabupaten Pegunungan Arfak, Anggi dipilih menjadi ibukota karena letaknya yang strategis. Berada diantara kepungan pegunungan Arfak yang menjulang. Kota Anggi dihuni oleh sekitar 8000 penduduk yang menyebar tidak merata. Di sini dapat dijumpai danau perempuan atau disebut ‘Anggi Gida’ dan danau laki-laki yang disebut ‘Anggi Giji.’ Dua danau eksotis ini dipisahkan oleh perbukitan sedang yang merupakan bagian dari rangkaian formasi Pegunungan Arfak.

Ketika saya bersama rombongan dari Manokwari tiba di Anggi pada sore hari, event Arfak Festival yang pertama sudah dibuka secara resmi oleh Gubernur Papua Barat, Abraham Octovianus Atururi pada siang hari. Acara pembukaan itu sempat terhalang guyuran hujan. Warga sempat menyambut rombongan pejabat dengan atraksi tari-tarian, termasuk tarian diatas sebuah rumah kaki seribu yang sengaja di dirikan di jalan utama untuk menghibur wisatawan yang hadir. 

Di hari pertama saya tiba di Anggi, saya tidak tinggal sebarak dengan rombongan yang bersama saya datang. Karena saat tiba saya langsung mengevakuasi tas ransel saya dan mencari para pengunjung di Anggi yang saya kenal. Saya beruntung karena menemukan beberapa teman yang mau membantu saya bermalam bersama mereka. Sialnya semua barak yang disediakan untuk tamu dari Manokwari sudah terisi penuh.

Saya terpaksa melewatkan malam pertama di Anggi dengan menumpang tidur dalam suasana penuh kedinginan di dalam sebuah mobil Hilux yang dicarter rombongan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Malam itu saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Udara dingin terasa menusuk sumsum dan tulang. Saya memang sempat membeli sebuah baju ‘sweater’ dari toko kecil di Anggi sewaktu tiba, pengganti jaket saya yang basah. Tapi sweater ini tak mampu menangkal udara dingin.    


Meski begitu saya bisa melewati malam pertama penuh kedinginan di Anggi. Esok paginya, Jumat 13 November 2015, saya dibangunkan oleh udara dingin yang tak kalah garangnya. Kabut pagi baru saja berlalu. Wajah sang surya mulai tampak di balik gunung. Saya diajak beberapa teman mandi di sungai yang mengalir tak jauh dari lokasi barak pegawai. Tapi suhu air di sungai ini dinginnya nyaris melebihi suhu air di dalam lemari es.

Saya dan beberapa teman terpaksa menunda niat untuk mandi pagi. Kami hanya mencuci muka lalu berfoto dengan dilatari sungai dan lekukan alam pegunungan. Setelah itu kami berjalan menuju dapur umum yang didirikan panitia untuk menyediakan sarapan pagi, makan siang dan makan malam bagi para tamu. Dapur umum ini didirikan di samping Kantor Bupati Pegaf. Hidangan pagi yang gratis di hari kedua ini membuat saya tak perlu merogoh kocek untuk makan.

Setelah sarapan, saya diajak berkeliling melihat situasi Kota Anggi yang mulai ramai dengan geliat pembangunan. Orang Arfak disini masih mempertahankan rumah tradisional kaki seribu mereka. Meski ada yang sudah menempati rumah permanen atau merubah bentuk alami rumah kaki seribu mereka menjadi sedikit modern. Mereka menanam berbagai jenis sayuran di halaman rumah seperti; daun bawang, kol, wortel, kentang, tomat dan lain-lain.

Ada pasar yang dibangun untuk menopang aktivitas ekonomi masyarakat lokal. Ada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Ada puskesmas dan sejumlah fasilitas olahraga sederhana seperti lapangan sepak bola dan voly. Pemda Kabupaten Pegunungan Arfak juga mulai membangun dan menata pemukiman masyarakat dan infrastruktur jalan, walaupun jalan kota belum beraspal.

Saya juga diajak mengunjungi lapangan terbang perintis Snomeba yang panjangnya satu kilometer lebih. Landasan pacu (run way) lapter ini terbuat dari semen dan memanjang hingga mendekati bibir danau Anggi. Dari cerita warga, lapter ini dulunya hanya berupa rerumputan diatas tanah berawa di pinggir danau. Sebelum dirintis tahun 1980-an, para misionaris yang melayani orang Arfak di Anggi menggunakan pesawat jenis amfibi yang mendarat di permukaan kulit air danau Anggi. Bila tidak, perjalanan ke Anggi harus ditempuh dengan berjalan kaki selama berhari-hari dari Manokwari atau sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun