Blogku mendapat job menulis artikel tentang penyakit di lingkungan kotor. Oleh Google Adsense, dipajang iklan obat kutu kepala. Semacam cocoklogi ala Google.
Tapi hal itu justu membuatku teringat pengalaman menyebalkan beberapa tahun lalu, tapi insyaallah bermanfaat untuk pembaca Kompasiana.
Waktu itu aku masih bekerja di luar, anak-anak Senin-Jumat dititip di TPA (tempat penitipan anak) yang satu lokasi dengan sekolah mereka.
Suatu hari TPA kedatangan anak baru. Dia satu sekolah dengan si Kakak, tapi tidak satu kelas. Mungkin karena belakangan orangtuanya sibuk, akhirnya anak ini ikut dititip seperti beberapa teman sekolahnya.
Salah satu pengasuh sudah melihat gelagat tak enak dari anak ini. Rambutnya paling kacau di antara yang lain, itu disebabkan setiap kali ia membuka jilbab, segera tangannya menggaruk kepala sejadi-jadinya.
Ketika istirahat di dalam TPA, tentu anak-anak tak perlu mengenakan jilbab. Tidur pun bersama-sama. Entah pada aktivitas yang mana, atau bahkan dari kepala siapa, ada yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kutu.
Sehari kemudian, si Kakak kemudian ikutan sering mengusutkan rambut. Tapi ia lebih terbuka, mengaku pada pengasuh bahwa kepalanya gatal. Tersangka utama memang anak tadi. Tapi sebagai orangtua, aku lebih fokus pada solusi ketimbang mencari dari mana asal makhluk yang bikin bergidik itu.
Aku pun membeli berbagai obat kutu untuk si Kakak. Cara-cara alami yang kudapat dari Google juga kupraktikkan. Tapi baik yang alami maupun yang kimia, bahan gratisan maupun beli mahal, tak membuahkan hasil.
Bahkan sempat, kutu yang tinggal di kepala anakku jumlahnya membludak sampai telurnya bertaburan seperti bintang di langit. Tak perlu menyibak rambut, telur kutu bagai  butiran kerlip yang menghias kepala. Bikin malu!
Lucunya, para pengasuh malah menjadikan aktivitas mencari kutu anak sebagai kesibukan yang menyenangkan. Setiap hari di jam menjelang tidur, mereka menyisiri rambut anak-anak untuk membunuhi kutu dengan kuku mereka.
