Aku sempat sesumbar, enak anak-anakku sekarang. Emak mereka bisa baca, malah sebagai kang tulis, bisa bikin dongeng-dongengan tanpa konsep.Â
Waktu aku kecil, mana pernah Mamak membacakan dongeng. Cerita masa kecilnya pun baru sekarang, setelah aku jadi emak-emak juga. Meski ceritanya itu-itu lagi, tetap kusimak. Bahkan bisa kuteruskan dalam hati, saking hafalnya.Â
Tapi bersabarlah, tunjukkan dirimu berminat mendengarkan. Demi pahala menyenangkan hati orangtua.
Ternyata aku tak sebaik yang kukira. Beberapa tahun belakangan, jika membacakan buku sebelum anak-anak tidur, akunya yang tidur duluan. Untungnya sekarang si Kakak dan Adek sama-sama sudah bisa membaca. Saking mandirinya, si Adek bahkan baca buku sendiri mesti masih macet-macet, kadang malah salah baca.
Tapi kalau kutawari membacakan, respons mereka luar biasa. Ternyata meski sudah bisa membaca, dibacakan jauh lebih enak. Seperti kita yang sudah bisa cari makan sendiri, tapi tetap nikmat kalau disuap tangan emak. Seperti candu.
Di masa libur panjang yang terpaksa ini, ada rasa bersalah juga tidak sempat mendongengi mereka. Yang walau kucoba, tetap saja aku tidur duluan (btw ada yang bisa bantu?)
Untuk mengurangi rasa bersalah, kuajak saja si Kakak berkolaborasi (yang biasanya nanti akan diikuti adiknya). Karena ia lebih suka menggambar, kutantang Kakak membuat komik dari cerita yang kubuat. Hasilnya lumayanlah! Mungkin kurang bagus, tapi aku bahkan gak bisa bikin yang seperti itu.
Beda hal jika diingatkan pada PR dari sekolah, tahu-tahu kamar sudah senyap. Pules. Padahal tiap hari dapat "kiriman" dari guru di grup wali murid. Satu hari sekian tugas harus dikerjakan. Kalau biasanya dikasih HP girang, sejak Corona bikin libur, dipanggil untuk lihat WAG mukanya langsung kusut.
Jadi, apakah dongeng bisa diganti dengan PR?