Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pasca Debat KPU Digugat, Kapan KPU Menggugat?

18 Februari 2019   22:09 Diperbarui: 18 Februari 2019   22:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capres Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto berfoto bersama di acara debat kedua (Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)

Pasca debat kedua, di media sosial beredar sebuah video singkat yang memperlihatkan terjadi insiden kecil di lokasi debat. Sekelompok pendukung salah satu paslon mendatangi kursi komisioner KPU, konon ingin menyampaikan protes. Beruntung, insiden ini tak sempat disiarkan secara "live" dan tak bertambah ricuh.

Itu hanya salah satu insiden kecil yang terjadi. Pasca debat, muncul lagi tudingan bahwa salah satu kandidat menggunakan alat bantu. Berkembang lagi, ada tuduhan bahwa soal/pertanyaan debat sudah terlebih dulu bocor ke salah satu calon.   

Apakah semua tudingan itu bisa dibuktikan dan berdasarkan fakta? Tentu saja tidak. Semua itu hanya berdasarkan asumsi dan tuduhan belaka. Maka patut diduga, barangkali ini merupakan cara untuk mengalihkan fakta kekalahan sekaligus menuding pihak lain berlaku curang. Ini trik lama dan sudah dilakukan berulang.

Kita ingat saat debat pertama yang dikritik banyak orang berjalan kurang menarik, lalu muncul tudingan bahwa itu terjadi karena KPU sudah membocorkan soal terlebih dahulu. Belakangan terungkap bahwa ihwal pemberian kisi-kisi soal merupakan kesepakatan kedua tim kampanye.

Bahwa kemudian debat berjalan tidak menarik, berarti yang bermasalah sebenarnya bukan dari sisi penyelenggara (KPU) melainkan dari kandidat itu sendiri dan tentunya tim kampanye yang bertugas memoles jagoannya agar bisa tampil prima.  

Bila mau jujur, jalannya debat kedua sebenarnya bisa dikatakan sudah jauh lebih baik dari debat pertama. Sudah banyak kemajuan dan benar-benar terasa pembenahan dan perubahan yang sudah dilakukan. Debat berjalan lebih menarik dan terbuka. Jelas terlihat, siapa kandidat yang benar-benar siap dan siapa yang tidak.

Terlihat pula kapasitas dan kemampuan kandidat untuk memahami persoalan sekaligus memaparkan konsep solusi yang ingin ditawarkan.

Bila pada debat pertama, ada kisi-kisi soal yang disepakati kedua tim untuk dibagikan kepada pasangan calon, pada debat kedua itu tidak lagi dilakukan. Pihak penyelenggara yaitu KPU sudah menjamin hal ini.           

Pada kondisi pihak penyelenggara sudah berupaya maksimal melakukan upaya-upaya terbaik, namun masih tetap saja digugat oleh tim kampanye, memang membuat kita tidak habis pikir. Mungkin ini semakin jelas menggambarkan bahwa banyak elite politik kita yang masih kekanakan dan tingkahnya sering menggelikan.

Mereka terbiasa menuding orang lain tanpa berupaya melihat dan merefleksikan diri sendiri. Menuding orang lain melanggar aturan, sementara mereka sendiri melakukannya. Menuding pendukung paslon lain membuat keributan, tapi mengabaikan keributan yang ditimbulkan pendukungnya sendiri.

Mereka juga merasa pantas untuk menjadi "hakim dan pengadil" padahal mereka sendiri adalah pemain. Lalu, buat apa ada pihak penyelenggara dan pengawas yang jelas-jelas dibentuk, diberi kewenangan dan dibiayai oleh negara?

Kalau dipikir-pikir, dimana logikanya sekadar menyebutkan fakta/data penguasaan lahan seseorang lantas bisa disebut sebagai menyerang sisi personal? Mungkinkah sebenarnya mereka sedang tidak paham batasan maksud menyerang personal/pribadi atau memang berpura-pura pikun?

Kekonyolan berlanjut ketika tim kampanye melaporkan kandidat yang dianggap sudah menyerang pribadi lewat pernyataan pengungkapan harta kekayaan berupa penguasaan aset tanah. Bayangkan, proses debat kemudian berubah menjadi alat menggugat.   

Proses demokrasi kita memang masih harus terus berjalan dan belajar menuju ke arah yang lebih baik. Proses perjalanannya memang menjadi agak lambat karena banyak elite politik kita yang tingkahnya sangat kekanakan.

Panggung debat akbar pilpres semestinya tak perlu dinodai dengan keributan dan kekonyolan yang tak penting. Toh, tidak ada istilah pemenang dalam setiap debat karena ini bukan cerdas cermat yang jelas ada juri dan sistem poin/nilai yang diberikan pada peserta.  

Klaim kemenangan saat debat juga tak otomatis menjamin tingginya perolehan suara saat hari "H". Tidak ada jaminan. Hanya rakyat selaku pemilik hak suara yang paling tau pasti kepada siapa suaranya akan diberikan.

Sehingga, buat apa ribut-ribut? Bila memang merasa kalah di salah satu sesi debat, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya di sesi yang lain bahkan sampai sebelum hari pencoblosan.

Di sisi lain saya membayangkan, pihak penyelenggara pun sepertinya bisa memikirkan upaya menggugat kembali bila ada tudingan-tudingan ngawur tanpa data dan fakta yang berkali-kali disampaikan anggota tim kampanye?

Menurut saya, tudingan bahwa KPU tidak netral atau KPU sudah terlebih dulu membocorkan soal pada salah satu kandidat merupakan tuduhan yang serius, berbahaya, bahkan sudah menjatuhkan kredibilitas pihak penyelenggara. Ini tak boleh dibiarkan apalagi didiamkan.

***

Jambi, 18 Februari 2019

      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun