Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Siapa Mau Jadi Pelapor Kasus Korupsi?

11 Oktober 2018   16:01 Diperbarui: 12 Oktober 2018   10:45 2807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com/Lucky Pransiska)

Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Aturan ini sekaligus menggantikan PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bedanya, dalam PP itu tak diatur soal premi untuk pelapor kasus suap. PP lama juga tak mengatur batas maksimal nilai uang sebagai premi yang diberikan kepada pelapor. 

Satu poin menarik dalam PP yang baru, masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal Rp 200 juta. 

Sementara untuk pelapor tindak pidana korupsi berupa suap, besar premi yang diberikan sebesar dua permil dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan dengan nilai maksimal Rp 10 juta. 

Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Dalam PP itu disebutkan, setiap pelapor kasus korupsi yang akan menerima penghargaan harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satunya, mendapat penilaian dari penegak hukum.

Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa. Dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.

Presiden Jokowi menjelaskan, aturan ini dibuat dalam rangka meningkatkan partisipasi publik dalam rangka ikut dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemberian hadiah/insentif merupakan bentuk penghargaan dari pemerintah sekaligus merangsang publik agar lebih banyak yang terlibat aktif dalam memerangi korupsi. 

Seperti biasa, pro dan kontra terjadi di ruang publik. Salah satu yang pro sekaligus mengapresiasi aturan ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK, Agus Rahardjo bahkan mengatakan KPK memiliki usulan yang lebih menarik tetapi sayangnya tidak diterima.

Ketua KPK, Agus Rahardjo (Foto: Tribunnews/Herudin)
Ketua KPK, Agus Rahardjo (Foto: Tribunnews/Herudin)
Sebelumnya KPK mengusulkan pemberian nilai kompensasi/penghargaan yang lebih besar yaitu 1 persen dari kerugian negara yang bisa dikembalikan atau dari besaran suap atau hasil lelang. Untuk itulah, Agus berniat bertemu Jokowi untuk membahas ulang hal itu.

Agus menduga pemerintah khawatir besaran 1 persen itu memberatkan keuangan negara. Namun menurutnya besaran 1 persen itu dapat dipotong langsung dari amar putusan pengadilan yang dibebankan pada terdakwa kasus korupsi.

"Ada kekhawatiran pemerintah akan mengeluarkan dana yang besar padahal menurut saya tidak. Tidak perlu dialokasikan setelah amar putusan pengadilan nanti, misalkan kalau satu persen langsung dipotong gitu kan (dari uang korupsi atau suap yang dikembalikan)," ujar Agus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun