Polemik di ruang publik terjadi lagi. Ini terkait fenomena sejumlah kepala daerah yang menyatakan dukungan secara terbuka pada salah satu kandidat di Pilpres 2019. Kebanyakan dukungan tersebut dialamatkan pada petahana (incumbent). Â
Ada kepala daerah yang berani menyatakan dukungan, padahal ia berasal dan bahkan menjadi pengurus aktif salah satu partai politik yang sudah mengambil sikap politik berseberangan dengan petahana. Mereka sudah siap menghadapi risiko atau sanksi yang akan dijatuhkan partai, termasuk pemecatan.Â
Dari daerah Sumatera Barat dikabarkan ada sepuluh kepala daerah yang telah menyatakan dukungan terbuka pada petahana. Cukup mengejutkan karena di pilpres 2014 lalu, pasangan Jokowi-JK justru mengalami kekalahan yang cukup telak disana.Â
Ihwal dukung-mendukung capres di Pilpres mendatang sebenarnya sudah mulai gencar dibicarakan saat para calon kepala daerah sedang bersaing di Pilkada beberapa waktu lalu. Tak bisa dimungkiri, kontestasi pilkada lalu memang seringkali disebut-sebut sebagai "ajang pemanasan" partai politik jelang menghadapi pileg dan pilpres 2019.Â
Berkah atau manfaat kepala daerah yang menyatakan dukungan secara terbuka pada capres-cawapres mungkin saja berpotensi mendongkrak perolehan suara, meskipun beberapa pengamat justru meragukan signifikansinya.Â
Dengan kata lain, dukungan tersebut masih harus diuji dengan menunggu hasil Pilpres mendatang dan cara mengukurnya cukup sederhana. Sebagai contoh, setelah adanya dukungan terbuka dari beberapa kepala daerah di Sumatera Barat, apakah petahana akan mampu memenangkan perolehan suara atau minimal tidak lagi mengalami kekalahan telak di Pilpres mendatang atau justru sebaliknya.Â
Satu hal yang pasti, dukungan terbuka kepala daerah di kontestasi Pilpres 2019 berpotensi menimbulkan masalah. Kepala daerah jelas-jelas merupakan pemimpin birokrasi di daerah yang harus melayani masyarakat secara optimal, prima, berkeadilan dan tanpa diskriminasi. Untuk itulah, secara ideal (aparat) birokrasi memang harus netral dalam kontestasi politik apapun.Â
Bisa dibayangkan, kegamangan yang dirasakan para aparat birokrasi sementara pimpinan tertinggi mereka justru bersikap tak netral alias jelas-jelas sudah menyatakan dukungan secara terbuka pada salah satu kandidat. Ini bukan teladan yang baik dari seorang pemimpin.Â
Potensi masalah berikutnya, bukan tidak mungkin sang kepala daerah akan melakukan mobilisasi aset yang sedang "dikuasainya" untuk digunakan sebagai alat kampanye calon yang didukungnya.Â
Sesuai aturan, kepala daerah yang akan terlibat kampanye di Pilpres mendatang juga diwajibkan mengambil cuti. Dengan demikian, untuk sementara waktu mereka akan menyampingkan tugas dan tanggung jawab yang sudah diamanahkan oleh warga dalam sumpah jabatan yang pernah diikrarkan.
Dukungan terbuka kepala daerah pada capres, sekurang-kurangnya memang jelas bermasalah secara etika. Walaupun dari segi peraturan, ada banyak celah yang bisa digunakan sebagai alasan pembenaran.Â
Tragisnya, persoalan etika terutama di dalam suasana kontestasi politik memang hampir selalu diabaikan. Lebih parah lagi, dalih penegakan etika saat ini bahkan cenderung dipolitisir alias menjadi alat politik.Â
Masing-masing kubu sering menjadikan dalil etika hanya sekadar alat untuk menyerang lawan politiknya, padahal sebenarnya mereka sama-sama tak peduli soal itu. Sama-sama sering melanggar, hanya dalam bentuk dan waktu yang berbeda.
Di satu waktu pandai menuding fenomena para kepala daerah yang secara terbuka memberikan dukungan pada capres telah melanggar etika, namun di lain waktu justru terdiam bahkan mendukung dan membenarkan tindakan capres yang mau menandatangani kontrak perjanjian, salah satu poinnya "membela" seorang buronan, hanya demi mendapatkan dukungan.Â
Membicarakan penegakan etika terutama dalam suasana pertarungan politik terasa seperti sia-sia dan hanya membuat kita lelah. Atau barangkali memang sudah saatnya kita harus pasrah karena sebenarnya etika berpolitik kita memang sudah lama musnah. Â
***
Jambi, 20 September 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI