Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jokowi "Kena Getah" Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan

22 Agustus 2018   22:48 Diperbarui: 22 Agustus 2018   23:04 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi saat tinjau langsung ke lokasi karhutla (Foto: merdeka.com)

Presiden Joko Widodo divonis melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) di kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Vonis itu diketok oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya yang sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, setahun sebelumnya.

Adapun kasus yang diperkarakan adalah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tahun 2015 lalu. Kita ingat waktu itu, terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat melanda beberapa daerah di Indonesia.

Gugatan warga atau citizen lawsuit diajukan para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalteng. Mereka adalah Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas, Deputi Direktur Walhi Kalteng Afandy, Direktur Save Our Borneo Nordin, Direktur JARI Mariaty A Niun, Koordinator Fire Watch Kalteng Faturokhman, Bendahara Walhi Kalteng Herlina, dan warga Kota Palangkaraya Kartika Sari (Kompas, Rabu, 12 Oktober 2016).

Selain Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah turut menjadi pihak tergugat.

Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung, Vonis PT Palangkaraya menjatuhkan 12 hukuman yang harus dilaksanakan Joko Widodo, delapan diantaranya "hanya" membuat Peraturan Pemerintah terkait lingkungan hidup.

Empat hukuman lainnya; Pertama, pemerintah harus mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi korban asap. 

Kedua, memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah provinsi Kalimantan Tengah membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di Provinsi Kalimantan Tengah. 

Ketiga, membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antispasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap.

Keempat, menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar.       

Menanggapi vonis tersebut, pemerintah belum mau langsung melaksanakannya dan memilih melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Kena Getah

Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan pandangan cukup menarik dalam menanggapi vonis tersebut. 

Dilansir situs JPNN.com, Bambang mengingatkan semua pihak memahami dulu sejarah awal kasus yang bergulir di PT Palangkaraya tersebut sebelum berpendapat. 

''Gugatan itu terkait kasus kebakaran tahun 2015 yang menjadi salah satu kejadian terburuk karhutla yang pernah dialami Indonesia,'' kata Bambang pada media, Rabu (22/8).

Saat itu Presiden Jokowi baru saja menjabat, dan kasus karhutla memang sudah menjadi langganan setiap tahun terjadi di daerah-daerah rawan. Banyak faktor menjadi penyebabnya, mulai dari jor-joran izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas. 

Bambang menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, Presiden Jokowi sudah mengambil langkah-langkah cepat dan tegas dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Bambang bahkan mengklaim bahwa pemerintahan Jokowi yang paling serius menangani kasus karhutla. 

Saat terjadi karhutla parah, Menteri LHK langsung menerbitkan Surat Edaran 494/2015 kepada seluruh pemegang konsesi untuk menghentikan semua kegiatan pembukaan gambut dan pembukaan kanal/drainase yang menyebabkan kekeringan ekosistem gambut.

Melalui PermenLHK P.77/2015, pemerintah juga mengatur pengambilalihan areal terbakar di konsesi oleh pemerintah. Ini merupakan langkah berani pertama dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah.

Langkah berikutnya, Presiden juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.01 Tahun 2016 untuk membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi areal gambut terbakar 2015. Hingga lahirnya PP 57 tahun 2016 tentang tata kelola gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru.

PP terkait gambut ini menjadi sejarah sendiri, karena moratorium tidak hanya berlaku pada izin gambut yang lama, tapi juga pada konsesi izin yang lama tidak diperbolehkan lagi melakukan pembukaan lahan gambut. Termasuk melakukan moratorium pembukaan kanal yang menyebabkan gambut menjadi kering dan rentan terbakar.

Mengapa harus moratorium pembukaan gambut? Karena lahan gambut sangat rentan sekali terbakar dan sebagian besar karhutla terjadi di lahan gambut, dan sangat sulit dipadamkan.

Kementerian LHK juga menerbitkan PermenLHK nomor 9 tahun 2018 tentang siaga darurat kebakaran, serta keseriusan penegakan hukum yang untuk pertama kali baru berani menyasar korporasi secara tegas.

Tidak hanya terkait instrumen hukum, pemerintah juga aktif melakukan langkah-langkah nyata mengatasi karhutla. Presiden Jokowi bahkan beberapa kali ikut meninjau langsung lokasi kebakaran hutan dan lahan.    

Sebagai warga yang tinggal di Jambi (salah satu daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan tahun 2015), mau tidak mau saya harus mengamini pernyataan Bambang. Faktanya, setelah kebakaran hebat tahun 2015, bencana serupa tak terjadi lagi dua tahun berikutnya, 2016 dan 2017.

Saat ini, tahun 2018 kejadian kebakaran hutan dan lahan memang terjadi lagi di beberapa daerah langganan kebakaran. Kemarau panjang yang sedang terjadi turut membuat upaya penanganan menjadi lebih berat.    

Namun sekali lagi, publik tak bisa menutup mata terhadap keseriusan pemerintah menangani kasus kebakaran hutan dan lahan. Kita sepakat dan terus mendukung agar pemerintah terus bekerja secara optimal dan melakukan upaya-upaya terbaik.

Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi begitu hebat di tahun 2015 tentu saja merupakan akumulasi dari era-era sebelumnya yang kurang memerhatikan hal ini. 

Wujud kelemahan itu misalnya terkait praktik "obral" ijin-ijin konsesi lahan, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya langkah-langkah antisipatif menghadapi potensi kebakaran hutan dan lahan. Sementara pemerintahan Jokowi saat itu baru berusia beberapa bulan. 

Terkait vonis yang harus diterima Jokowi saat ini, saya jadi teringat dengan istilah "orang lain makan nangka, saya kena getahnya".   

***

Jambi, 22 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun