Mohon tunggu...
Fahmi
Fahmi Mohon Tunggu... Bankir - Suka baca hoby menulis

Pecinta Literasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Titik Representasi Soeharto, Jokowi adalah Soeharto Gaya Baru

19 November 2018   10:21 Diperbarui: 19 November 2018   10:26 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semenjak Partai Golkar ditinggal si tangan besi---Soeharto. Mau tidak mau, partai berlambangkan pohon beringin tersebut harus berbenah untuk mengubah pandangan publik terhadap Golkar sebab diakui atau tidak. Dulu, Soeharto merupakan representasi partai Golkar, anggap saja Golkar adalah Soeharto dan Soeharto adalah Golkar. Sepeninggal Soeharto, masih ada keluarga cendana di Golkar yang membuat segelinitir orang menilai, mendukung Golkar berarti menghidupkan kembali sistem pemerintahan ala Soeharto.

Seiring berjalannya waktu, pengaruh keluarga cendana di Golkar kian menurun---Golkar terbelah menjadi beberapa kekuatan---termasuk barisannya Aburizal Bakri, konglomerat yang berhasil menenggelamkan beberapa bagian Kabupaten Sidoarjo dengan Lapindo Brantasnya. Kekuatan uang memang tiada tandingannya, Aburizal Bakri berhasil merebut tahta sebagai pemegang nahkoda Partai Golkar.

Munaslub di Nusa Dua, Bali. Kekuatan Aburizal Bakri sepertinya runtuh, apalagi kesaktian keluarga cendana, kedatangan Ruhut Sitompul dan Cahyo Kumolo di Munaslub seketika mengubah percaturan politik, ada dugaan kuat Setya Novanto didukung pemerintah sehingga suara berbalik. Pengaruh keluarga cendana pun sedikit demi sedikit diredam sehingga pada puncaknya, Titik Soeharto pindah sampan ke Partai Berkarya yang didirikan Tomi Soeharto.

Beberapa waktu yang lalu Titik Soeharto mengeluarkan statmen bahwa apabila Prabowo menang maka Indonesia akan kembali seperti Soeharto. Partai Berkarya meski tidak memiliki suara untuk menjadi pertai pendukung Prabowo namun Berkarya sudah sejak awal menunjukkan komitmennya mendukung Prabowo. Akibat statmen Titik, lini massa medsos dipenuhi dengan cerita pengalaman netizen ketika masih Soeharto berkuasa.

Sekian netizen mengalami pengalaman pahit yang berbeda-beda ketika Soeharto belum jatuh, yang jelas mereka merasakan pahit ketirnya kehidupan diintervensi oleh pemerintah dengan militernya, tidak memiliki kebebasan bersuara, isu PKI menyerbak sedemikian rupa tanpa proses pradilan nyawa seolah tidak berharga, pada masa suram itu semua haruslah menjadi Golkar untuk aman. Intinya, semua diatur oleh pemerintah---oleh Soeharto.

Statmen Titik di media massa menunjukkan bahwa darah Pak Harto benar-benar mengalir pada putrinya, bukan hanya sebagai anak biologis melainkan juga anak idiologis yang nantinya akan melanjutkan cita-cita Soeharto. Lalu, bagaimana dengan Jokowi ?

Diktator tidak melulu menggunakan cara-cara kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan, bisa juga menggunakan taktik politik yang sebenarnya mirip-mirip dengan gaya kepemimpinan diktator. Hanya saja, gaya demikian berselimut demokrasi sehingga kediktatorannya tersamarkan.

Lahirnya UU ITE menjadi penanda, pemerintahan Jokowi mulai menggunakan cara-cara diktator dengan memanfaatkan hukum bukan militer. Zaman Soeharto, barang siapa mengkritik pemerintah maka Penembak Misterius (Petrus) bertindak---hilang seketika. Namun, zaman Jokowi, mengkritisi pemerintah maka siap-siap menjadi penghuni jeruji besi. Pemerintahan Jokowi berlindung dibalik UU UTE, anggap saja pasal karet tersebut adalah senjatanya Jokowi.

Bukannya saya benci dengan sosok Jokowi, tidak. Tapi, lahirnya UU ITE telah banyak memakan korban, bukan hanya pemerintah yang bertindak diktator, hampir semua lapisan masyarakat bisa menggunakan UU ITE untuk memenjarakan seseorang meski seharusnya kasus tersebut bisa diselesaikan dengan cara-cara yang lebih elegan atau memang bukan domain kepolisian menerima setiap laporan, katakanlah kasus yang menimpa Zakki, jurnalis dari Serat.Id harus berurusan dengan kepolisian meski seharusnya kesalahan yang dilakukan oleh Zakki mekanismenya bukan melewati kepolisian melainkan sidang kode etik di Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers No 40 Tahun 1999.

Selain UU ITE, Pemerintahan Jokowi menunjukkan tangan besinya dengan membubarkan HTI tanpa melalui proses pradilan. Lalu, bila sudah demikian apa bedanya dengan Soeharto dan Petrusnya. Menurut hemat saya, apabila HTI dipandang sebagai ormas yang bermasalah karena berusaha mengganti pancasila maka tetap harus dibubarkan dengan proses hukum, tunjukkan pada publik bahwa bangsa ini adalah bangsa yang menghargai hukum. Bila sudah demikian,di kubu Prabowo ada Titik Soeharto representasi Soeharto sementara Jokowi melahirkan kepemimpinan diktator Gaya Baru, kita harus memilih siapa pilpres yang akan datang ?

Ingat, GOLPUT juga pilihan.             

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun