Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Itu Bukan untuk Memiliki

16 Februari 2017   12:24 Diperbarui: 16 Februari 2017   12:37 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir tiap tanggal 14 Pebruari ,kulihat anggrek dan mawar di kebunku.   Berbunga nan indah, kuncupnya bermekaran dan warna bunga  violet kesukaanmu, membuat hatiku berdegup keras.  Seandainya keindahan itu masih  tetap melekat di hatiku , alangkah bahagianya.

Hampir 20 tahun yang lalu aku mengenang dirimu . Kita masih sekolah di SMA di kelas yang sama.  Kecantikanmu  bagaikan primadona kecantikan dan kembang, dari semua teman gadis di sekolah .   Kecantikanmu bagaikan madu yang membuat semua teman lelaku ingin mengejar dirimu.  Berkompetisi untuk memenangkan hatimu.  Hatiku menciut karena aku merasa tak memiliki apa-apa, ketampangan maupun kekayaan.  Tapi dirimu sangat sempurna, kecantikan wajahmu, sopan santun tindak-tandukmu, dan  kekayaan  yang ditunjukkan saat dirimu naik turun merzedes untuk pulang pergi ke sekolah.

Dalam hatiku yang terdalam, aku tak mungkin menang dalam kompetisi nan berat itu. Aku banyak kekurangan.  Tapi nyaliku masih menggebu untuk bisa menarik perhatianmu.  Aku lelaki biasa yang punya penilaian yang wajar  buat seorang gadis cantik nan sempurna.   Jika orang lain bisa, kenapa aku tak bisa.  

Peruntungan itu ada dalam diriku.  Ketika pembagian kelas di XI IPA, aku dan engkau masuk dalam satu kelas yang sama.   Hatiku berdegup keras.  Kesempatan besar  untuk saling bertemu dan menyapa .   Tempat dudukku dua baris di belakangmu.   Kuingat saat itu engkau gelisah luar biasa karena ada buku yang  Fisika yang ketinggalan.   Engkau menengok ke belakang, tersenyum kepada diriku.  Hatiku berdebar dan berdegup tak berhenti.    Kubalas senyummu. Dibalik senyum, ada kegelisahan yang kutangkap.  Kau langsung ucapkan “buku Fisika, boleh aku pinjam!”.    Tanpa berkata “ba..bi..bu”, aku langsung menyodorkan buku itu!” 

Dari peminjaman buku itu, aku bagaikan seorang pahlawan yang berharga bagi dirimu, menyelamatkan dirimu dari amukan guru yang tidak suka muridnya ketinggalan buku.   Engkau duduk di barisan depan yang jadi sasaran empuk bagi guru.  

Hari-hariku makin indah.   Tiada hari tanpa tertawa, canda dan kencan yang sangat menggembirakan.   Berdua kita selalu kemana-mana, di dalam kelas, kantin, perpustakaan, sampai pulang pun aku sering menghantarkan dirimu di dalam  mobilmu yang super lux.

Hidupku cerah bagaikan hari tanpa awan.   Suasana kelas jadi menyenangkan.  Semangatku belajar sangat kencang karena ada teman yang menyenangkan untuk menemani belajar.    Aku selalu mendampingi dirimu jika engkau mendapatkan kesulitan belajar di matematika .  Dirimu benci dengan rumus-rumus matematika yang tak kau sukai.  Dengan telaten kuberikan bimbingan.

Mendekati ujian akhir SMA, “dating” ku dengan Renny makin intensif sekalian  belajar bersama.  Malam minggu jadi alasan untuk belajar bersama, pusing belajar, penuh dengan canda.    Menjelang akhir semester , aku dihadapkan dengan masa depan yang harus kutempuh.   Pikiranku makin terkoyak, aku bingung dengan sekolah yang harus kulanjutkan. Orangtuaku tak punya dana untuk menyekolahkanku di perguruan tinggi prestis, dan aku merasa tertarik untuk belajar teologia.

Mulutku terkatup tapi aku harus bicara.  Kusampaikan kepada Renny bahwa aku ingin sekolah di teologia.   Lalu, aku bertanya balik kepadanya, apakah dia setuju ?   Pertanyaan yang sama kutanyakan kepadanya, dia ingin sekolah apa?   Mendengar kata-kata “teologia”, mukanya kaget dan berubah menjadi heran  “Kalau begitu aku harus jadi istri seorang pendeta?”

Diam seribu bahasa menanti jawabannya.  1 minggu,  2 minggu, sebulan, enam bulan,  jawaban yang kunanti tak kunjung datang.   Hampir aku putus asa karena menunggu  adalah pekerjaan dan siksaan berat buat diriku.   Aku tak mau terkatung-katung dengan hubungan yang sudah dekat itu.

Kuingat tanggal 14 Pebruari  yang seharusnya hari Valentine yang indah, namun, hari itu jadi hari nan mendung bagi diriku.   Engkau ingin menyampaikan jawaban yang lugas tentang pertanyaanku.    Hatiku kembali berdegup dan jantungku hampir copot karena aku mendengar suara itu sangat menyentakan .”Kita putus saja, aku mau sekolah jadi Bruder di Seminari”.     Lututku hampir lemas, aku tak bisa berbicara sepatah kata pun.  Perpisahan yang sangat berat harus terjadi.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun