Hidup di kota Metropolitan dan kota besarnya, sifat individualistis masih sangat terasa. Apalagi masing-masing individu atau tetangga tak peduli dengan kesulitan atau apa yang terjadi dengan tetangganya. Sifat individualistis ini yang menganggap urusan sendiri masih banyak kenapa harus mengurusi urusan orang lain atau tetangga. Â
Banyak yang tak menyadari bahwa semakin tingginya individualistis semakin banyak orang yang merasa hidupnya stress terutama mereka yang hidupnya sendirian tanpa sanak saudara, atau orang yang dekat yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
Ada orang yang hidup seorang diri tanpa sanak saudara karena sudah tua, tidak memiliki anak atau suami, ada juga yang suaminya telah meninggal dan anaknya tidak mau lagi mengurus ibunya.
Kehidupan yang sangat terasa keras saat kondisi keuangan berubah dan titik balik dari ekonomi yang mapan jadi tidak ekonomi yang tidak mapan karena kehilangan pekerjaan atau dari pekerjaan pendapatan tetap jadi tidak tetap.
Kasus yang saya temui dalam beberapa hari ini membuat saya sangat prihatin karena kondisi orang yang individualistis sudah demikian besarnya.
Saya hanya mendengar ibu  Kirana (bukan nama sebenarnya) saat beliau masuk ke Rumah Sakit Fatmawati. Sempat mendoakan beliau saat dirawat di Rumah Sakit. Namun,  kondisinya sudah sangat jelek, stadium 4 kanker kandungan yang sudah bermetastasis sampai ke paru-paru.  Ibu Kirana dalam usianya sekitar 45 tahun dan berprofesi sebagai guru itu masih ingin mempertahankan hidupnya karena beliau masih berat untuk  meninggalkan kedua anaknya yang masih belum selesai sekolah.Â
Anak sulung Ibu Kirana bernama Desi (bukan nama sebenarnya) berusia 16 tahun masih duduk di kelas SMA I Â dan yang kecil Tito (bukan nama sebenarnya} berusia 9 tahun duduk di kelas SMP III. Suami Ibu Kirana telah meninggal dua tahun sebelumnya karena serangan jantung. Jadi Ibu Kirana sebagai satu-satunya penopang kehidupan dalam keluarga itu. Â
Baginya kematian belum menyelesaikan masalah keluarga yang ditinggalkan. Â Tetapi kematian memang tidak bisa dielakkan. Manusia berencana sekuat tenaga tetapi Tuhan yang Maha Penguasa yang menentukan dan memanggilnya.
Lalu, bagaimana dengan kondisi kedua anak yang masih sekolah itu. Dari pihak keluarga Ibu Kirana maupun suaminya tak ada yang membantu karena meraka juga merasa berat kehidupannya. Desi yang semula ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi, urung untuk melanjutkan niatnya karena tidak ada dana sama sekali bahkan tidak ada bantuan dari pihak mana pun untuk dirinya.
Baginya jalan satu-satunya adalah bekerja. Â Namun, berkat bantuan suatu Yayasan Sosial untuk anak-anak tidak mampu, Desi mendapatkan beasiswa untuk terus melanjutkan di Gajah Mada.
Dengan tekad yang keras dan kemauan yang tinggi, dia terus berhasil menyelesaikan sampai meraih sarjana. Namun, ditengah keberhasilan menyelesaikan studinya, dia masih merasa gagal untuk mempersembahkan keberhasilannya. Dia tertekan dengan dirinya sendiri karena beberapa hal yang berkecamuk dalam  pikirannya.