Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterbukaan dan Empati Jadi Solusi Atasi Stres Juga Depresi

5 Agustus 2017   18:12 Diperbarui: 8 Agustus 2017   16:42 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup di kota Metropolitan dan kota besarnya, sifat individualistis masih sangat terasa. Apalagi masing-masing individu atau tetangga tak peduli dengan kesulitan atau apa yang terjadi dengan tetangganya. Sifat individualistis ini yang menganggap urusan sendiri masih banyak kenapa harus mengurusi urusan orang lain atau tetangga.  

Banyak yang tak menyadari bahwa semakin tingginya individualistis semakin banyak orang yang merasa hidupnya stress terutama mereka yang hidupnya sendirian tanpa sanak saudara, atau orang yang dekat yang mau mendengarkan keluh kesahnya.

Ada orang yang hidup seorang diri tanpa sanak saudara karena sudah tua, tidak memiliki anak atau suami, ada juga yang suaminya telah meninggal dan anaknya tidak mau lagi mengurus ibunya.

Kehidupan yang sangat terasa keras saat kondisi keuangan berubah dan titik balik dari ekonomi yang mapan jadi tidak ekonomi yang tidak mapan karena kehilangan pekerjaan atau dari pekerjaan pendapatan tetap jadi tidak tetap.

Kasus yang saya temui dalam beberapa hari ini membuat saya sangat prihatin karena kondisi orang yang individualistis sudah demikian besarnya.

Saya hanya mendengar ibu  Kirana (bukan nama sebenarnya) saat beliau masuk ke Rumah Sakit Fatmawati. Sempat mendoakan beliau saat dirawat di Rumah Sakit. Namun,  kondisinya sudah sangat jelek, stadium 4 kanker kandungan yang sudah bermetastasis sampai ke paru-paru.  Ibu Kirana dalam usianya sekitar 45 tahun dan berprofesi sebagai guru itu masih ingin mempertahankan hidupnya karena beliau masih berat untuk  meninggalkan kedua anaknya yang masih belum selesai sekolah. 

Anak sulung Ibu Kirana bernama Desi (bukan nama sebenarnya) berusia 16 tahun masih duduk di kelas SMA I  dan yang kecil Tito (bukan nama sebenarnya} berusia 9 tahun duduk di kelas SMP III. Suami Ibu Kirana telah meninggal dua tahun sebelumnya karena serangan jantung. Jadi Ibu Kirana sebagai satu-satunya penopang kehidupan dalam keluarga itu.  

Baginya kematian belum menyelesaikan masalah keluarga yang ditinggalkan.  Tetapi kematian memang tidak bisa dielakkan. Manusia berencana sekuat tenaga tetapi Tuhan yang Maha Penguasa yang menentukan dan memanggilnya.

Lalu, bagaimana dengan kondisi kedua anak yang masih sekolah itu. Dari pihak keluarga Ibu Kirana maupun suaminya tak ada yang membantu karena meraka juga merasa berat kehidupannya. Desi yang semula ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi, urung untuk melanjutkan niatnya karena tidak ada dana sama sekali bahkan tidak ada bantuan dari pihak mana pun untuk dirinya.

Baginya jalan satu-satunya adalah bekerja.  Namun, berkat bantuan suatu Yayasan Sosial untuk anak-anak tidak mampu, Desi mendapatkan beasiswa untuk terus melanjutkan di Gajah Mada.

Dengan tekad yang keras dan kemauan yang tinggi, dia terus berhasil menyelesaikan sampai meraih sarjana. Namun, ditengah keberhasilan menyelesaikan studinya, dia masih merasa gagal untuk mempersembahkan keberhasilannya. Dia tertekan dengan dirinya sendiri karena beberapa hal yang berkecamuk dalam  pikirannya.

Dia merasa bahwa tak ada manfaatnya dia berhasil jadi sarjana. Untuk siapa keberhasilan itu? Tak ada seorang pun yang dapat mengerti dan memahami perjuangan dalam keberhasilannya. Dia tak pernah mengeluh kepada siapa pun. Namun, di puncak kesedihan atau mendekati depresi, dia hampir tak tahan jika tak mengeluh.

Di suatu surat yang ditujukan kepada teman-teman seimannya, dia berteriak dalam suatu surat yang panjang. "Untuk apa aku hidup? Apakah aku hidup untuk diriku sendiri?  Siapakah diriku? Kenapa Tuhan memberikan kesempatan diriku untuk menyelesaikan studi tanpa arah yang jelas.  Seandainya aku bunuh diri, apakah aku bertanggung jawab kepada Tuhan? Adikku masih memerlukan diriku, tapi orang lain tak pernah tahu siapa diriku.  Perjuangan ini tak pernah berhenti karena aku sudah tak punya kekuataan lagi untuk melanjutkannya".

Selesai surat terbuka yang menggetarkan hati teman-temannya,  bahkan teman-teman dekat pun sampai kaget bahwa Desi harus melalui lembah kelam ditengah keberhasilan sekolahnya. Teman-temannya yang sering curhat dengan kesulitan hidup yang lebih kecil dibandingkan Desi, mereka baru menyadarinya.

Teman-temannya lalu datang kepada Desi dan mereka bukan hanya datang saja tetapi ikut mendoakan dan support untuk jiwanya yang sedang tergoncang. Ada yang menyediakan waktu untuk segala curhat Desi. Mendengarkan saja tanpa bisa membantu apa-apa, sudah cukup melegakan bagi Desi. Ada orang lain di sisinya itulah yang memang dibutuhkannya.

Sebagai orang tua, tetangga, teman, suami, istri, selalu punya relasi, baik itu dekat atau tidak. Pengertian dekat atau tidak tidak perlu diperdebatkan.  Yang menjadi faktor penentu bagi seorang sahabat dari orang yang sedang dalam depresi adalah orang yang mampu jadi pendengar setia dan tidak perlu memberikan nasehat apa pun atau memberikan jalan keluar yang belum pasti benar. Teman dekat bukan seorang psikolog yang mengerti bagaimana menangani seorang depresi. Dengarkan dulu keluhannya, dan antarkan saja kepada seorang profesional seperti psikolog, psiakter yang punya kemampuan untuk menolongnya.

Solusi mudah bukan apabila kita mau mendengarkan penderitaan orang lain, empati kepada mereka yang sedang dalam kesulitan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun