Mohon tunggu...
Donny Anggoro
Donny Anggoro Mohon Tunggu...

bukan siapa-siapa, hanya seorang yang ingin mempublikasikan gagasan-gagasan kecil ke dalam tulisan yang mungkin berguna

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pembaca Seni, Siapakah ? Peminat Seni, Dimanakah?

7 April 2011   04:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Belum lama berselang dua terbitan majalah seni budaya yang terbilang cukup bergengsi dikabarkan tutup buku. Yang satu dari Yogyakarta melalui kabar seorang kawan di Facebook sudah tutup buku setahun lalu sekitar bulan Juli-Agustus. Yang satunya lagi walau sebenarnya mendapat suntikan dana dari investor lumayan besar dan masih anak perusahaan dari sebuah media yang cukup besar baru tutup buku pada bulan Februari 2011. Redakturnya kebetulan kawan saya yang pernah bekerja di salah satu koran besar melansir berita ini tatkala diwawancarai sebuah situs internet yang juga berkiprah di bidang seni budaya.

Kabar ini tentunya mengejutkan buat saya yang berprofesi sebagai penulis di bidang seni budaya. Memang alasan yang terdengar selalu klise, karena bagian marketing atau pemasarannya tak bisa cari iklan lah, dananya disetop investor lah atau hal yang paling pahit dananya memang sudah habis untuk membiayai hidupnya sendiri. Saya juga membicarakan hal ini kepada kawan lainnya di sebuah galeri. Kawan saya hanya mengeluh apa lagi yang dibaca kecuali majalah dan koran bekas setelah semuanya tutup? Kawan lainnya malah menganggap era kertas yang dicetak sudah berlalu diganti dengan media on-line yang lebih efektif. Ia malah berpikir akan mengalihkan diri pada usaha lain guna menyokong dana untuk media on-line yang didirikannya.

Tapi mengamati pelbagai “penyakit” yang selalu klise itu saya jadi berpikir apakah majalah atau media seni yang ada sendiri sudah menerapkan inovasi baru untuk terutama dari segi isi atau pelbagai cara untuk menggaet iklan?

Belum lama tahun 2009 lalu juga ada dua majalah seni yang tutup. Sebenarnya tak murni majalah seni karena isinya lebih menyinggung soal perbukuan. Tapi karena buku adalah produk seni juga baiklah saya anggap kedua majalah yang tutup buku pada 2009 lalu itu juga berkiprah di bidang yang sama juga walau tak sepenuhnya terlalu berkiblat ke seni budaya.

Yang saya herankan keduanya lahir dari sebuah grup media yang cukup besar. Yang satu dari Gramedia satunya lagi dari grup Agromedia atau lebih dikenal dengan grup Gagas Media. Kalau yang dari Gagas kemudian bermalih rupa menjadi penerbit yang satunya lagi dari Gramedia benar-benar tutup buku saja setelah tujuh tahun berkiprah.

Mencermati perkembangan yang ada sekali lagi saya bertanya, apakah majalah-majalah yang tiarap itu sudah menerapkan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya? Saya pikir tidak karena sebenarnya ketika beberapa media tersebut masih ada mereka masih menerapkan pola lama yang sudah terbangun bertahun-tahun silam. Mungkin dari segi isi sudah dilakukan tapi upaya lain masih belum ada. Jadi, ketika mereka melansir berita sudah tak mampu bertahan saya hanya kaget sebentar sambil tentu saja misuh-misuh karena saya tak punya media lagi untuk mengirimkan tulisan.

Tapi satu gugur yang satu lagi ada yang muncul, begitu terus siklusnya. Pokoknya sampai duitnya habis baru kelihatan, begitu terus. Sampai saya pernah mencibir dalam hati kepada usaha seorang kawan yangsedang merancang prototype sebuah majalah seni lagi lantaran setelah saya curi info sana-sini isinya toh juga kurang progresif.

Sebenarnya siapa pembaca seni itu? Dan di manakah para peminat seni yang konon duitnya mampu membeli lukisan mahal atau mobil dan ponsel teknologi terbaru itu? Atau buruknya apakah para peminat seni itu kebanyakan dari golongan yang sudah malas membeli lagi lantaran lebih mudah mendapatkan apa yang diinginkan melalui internet?

Bisa jadi semuanya hampir betul. Tapi ada satu lontaran seorang budayawan terkenal di Solo yang dulu sering dititipi majalah seni untuk memasarkannya: kebanyakan dari seniman itu (dia mencontohkan kasusnya kepada pelukis karena dia dititipi majalah seni rupa) tidak membaca majalah seni lagi. Mereka baru beli majalah kalau dirinya dimuat sebagai profil atau diliput ketika mengadakan pameran, padahal gaya hidup mereka boleh terbilang mewah karena mampu beli mobil dan ponsel seri terbaru!

Begitu kira-kira lontaran budayawan terkenal itu yang ditulis di jejaring sosial Facebook dengan huruf kapital. Nampaknya dia begitu geram akan kondisi ini menyaksikan para seniman yang seharusnya konsumen pembaca yang disergap media-media itu malah asyik sendiri dan kurang gairah untuk membaca apalagi membeli. Tapi bagaimana mau bergairah membeli karena saya sendiri juga menyaksikan majalah-majalah tersebut harganya relatif mahal dan dibungkus segel plastik pula. Bagaimana mau dibaca? Keluhan ini memang juga tak sepenuhnya benar. Tapi beberapa majalah seni yang harganya masih di bawah duapuluh ribu rupiah juga tetap menumpuk di gudang. Jadi, kemanakah wahai para pembaca seni?

***

Sudah kita akui bersama peminat seni budaya memang sedikit sehingga rubrik-rubrik kesenian yang nyempil di beberapa media besar terpaksa dihilangkan atau dirampingkan saja menjadi “seni dan hiburan”. Sudah kita akui bersama juga pembaca seni budaya yang sebenarnya masih bisa dijangkau memang tak mampu membeli atau malas membelidengan berbagai alasan sehingga mereka sudah cukup puas dengan berita seni yang sudah ada di media besar macam Tempo atau Kompas.

Ya, mencermati kondisi yang ada seharusnya masih banyak jalan yang bisa ditempuh guna memertahankan hidup. Tapi kenapa dari dulu selain modal besar majalah-majalah seni itu tak juga membentuk tim yang solid yang mampu mendekati perusahaan di luar dunia mereka? Kenapa harus sampai modalnya habis atau ionvestronya pamit karena setelah disokong dana sekian juta mereka cenderung tak mampu berdiri sendiri? Apakah seni itu terlalu agung sehingga tak boleh didekati dunia lain? Bukankah seniman juga butuh ponsel, komputer, laptop, flashdisc, perabot dapur, televisi berwarna, sepeda motor atau mobil? Kenapa tidak mendekati perusahaan macam begitu? Seniman tak hanya butuh buku, pena, kuas, kanvas, palet, pensil, tinta, dan cat saja. Kenapa hanya mengandalkan galeri seni, yayasan seni, lembaga donor, maesenas, filantropis, atawa seniman yang sudah tenang akan kebutuhan finansial saja yang selalu didekati? Saya kira ini usul lama yang mungkin harus dicoba lagi.

Ada lagi majalah seni yang cukup bergengsi untuk bertahan hidup menjadikan dirinya menjadi free magazine (majalah gratisan, tidak dijual) dengan tak lagi menggaji para wartawan melainkan mengandalkan kontributor yang tersebar di berbagai daerah. Dengan siasat macam begini membayar kontributor atau penulis lepas tentu lebih murah ketimbang menggaji belasan wartawan. Ini siasat jitu. Tapi belum ketahuan perkembangannya karena siasat ini baru dicoba setahun lalu untuk “memukul” saingannya selain usaha untuk bertahan.

Pertanyaan mengusik, kenapa dari dulu mereka tak mencoba keluar dari lingkaran seni itu sendiri untuk mencari iklan? Apakah karena majalahnya sudah terlampau berat isinya? Bisa jadi ya. Isi atau materi seni yang terkandung dalam majalah-majalah seni yang ada pada umumnya menurut saya kurang membumi. Kalaupun mau dibikin ngepop juga hasilnya kebanyakan dirasa memaksakan alias nanggung. Tak jelas apa maunya sehingga wajarlah mereka dianggap cuma “main-main” saja buat pembaca yang serius.

Selain kurang membumi mereka juga kurang tanggap pada situasi terkini yang terjadi di dunia seni. Kurang dinamis, begitu. Kalau cuma liputan pameran lukisan, launching atau diskusi buku, atau pagelaran seni mah mungkin sudah ada di koran. Tapi liputan mendalam yang kritis, yang tidak memihak atau independen tanpa intervensi apakah ada? Sedangkan jika mengulas seniman selalu nama-nama yang itu-itu saja, hanya beritanya dibolak-balik saja seperti menggoreng tempe di atas wajan. Mana ada seniman yang baru muncul dengan karyanya yang memang pantas diberitahukan kepada khalayak karena inovasi baru?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin bisa dijadikan renungan. Memang tak semua seniman dan karyanya punya nilai berita. Tapi bukankah nilai berita itu yang terpenting ada gagasan atau inovasi baru bukan sekedar mengulang-ulang pernyataan yang kerap dilansir di media lain?

Dewasa ini teknologi internet sudah menawarkan hal baru yang tak mungkin dijangkau lagi oleh media cetak. Media cetak sudahlah hanya menjadi pangsa media dari grup besar yang punya cadangan dana dari usaha lain di luar seni (misalnya hotel atau catering), franchise majalah luar negeri atau didanai konglomerasi korporat besar. Sekarang giliran pelaku media atau seniman yang ingin berkiprah di bidang itu menfaatkan peluang yang ada tentu dengan inovasi baru, karena pada hakikatnya seni apapun termasuk seni tulis menulis adalah kedalaman yang mungkin belum dicapai media lainnya.

Kebebasan meluaskan informasi dan begitu murahnya biaya produksi dibandingkan mencetak sudah memberi jalan itu. Situs-situs internet seni budaya atau humaniora bermunculan. Hanya sayangnya sampai kini mereka baru sekedar menuangkan gagasan besar ke media baru yang lebih murah dan tepat sehingga rata-rata belum mampu memberikan honor atau kontribusi yang layak kepada penulisnya. Ada sih satu dua media on-line yang mampu membayar honor penulisnya. Tapi itu juga baru seupil. Ya, baru sekedar suka-suka sajalah. Maklum seniman. Masih idealis. Padahal seniman juga butuh uang untuk makan, beli pulsa, bayar kos, kirim orangtua di kampung, atau mentraktir pacar...

Jadi, selamat berkreasi! Semoga berbekal dari pelajaran-pelajaran yang sudah-sudah ada dapat diambil hikmahnya dengan tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Salam.

Rawamangun, April 2011.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun