Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seratus Meter Pun Naik Motor

29 Agustus 2025   08:45 Diperbarui: 29 Agustus 2025   08:45 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota ini, kota kecil yang dipenuhi sejuta lima cerita. Katanya kota nostalgia, kota bersejarah, kota yang cocok untuk jalan santai. Tapi coba lihat realitasnya: 100 meter ke warung gorengan pun, motor dinyalakan. Kalau bisa, masuk dapur bawa motor juga sekalian.

Dulu, jalan kaki itu bagian dari hidup. Mau ke pasar jalan kaki. Pergi ke sawah jalan kaki. Pergi ke sekolah juga jalan kaki. Bahkan main ke rumah tetangga pun cukup dengan kaki sendiri. Sekarang? Jalan kaki dianggap prestasi luar biasa. Jalan kaki jadi barang langka, bahkan dianggap olahraga berat. Saking jarangnya, orang jogging pun ke lapangan naik motor. Jadi, keringatnya bukan keluar saat lari, tapi pas rebutan parkir.

"Bro, warung depan rumah buka gak ya?"
"Buka. Ayo naik motor."
"Lho, depan rumah lho!"
"Justru itu, sekalian memanasi mesin motor."

Begitu kira-kira mini dialog yang makin sering kita dengar. Ironis, kaki yang dulu jadi sahabat sehari-hari kini seperti barang antik: hanya dipakai kalau terpaksa.

Ironi paling kocak, orang berangkat jogging pun sekarang butuh transportasi. Bayangkan, orang ingin olahraga, tapi berangkat ke lapangan naik motor dulu, muter 2 km, baru lari setengah putaran. Pulangnya, naik motor lagi. Alhasil, bensin yang terbakar lebih banyak daripada kalori yang hilang. Mestinya cukup buka pintu rumah, melangkah, lalu mulai lari kecil, kan?

Dulu pula, orang mau makan bakso mesti keluar rumah, jalan kaki menuju warung bakso, ketemu banyak orang, bicara dan ketawa bareng orang lain. Sekarang? Tinggal pesan online dari tempat tidur. Nggak ada keringat, nggak ada obrolan, bahkan rela bayar ongkir lebih mahal daripada harga es teh di warung.

Punya kaki, tapi diparkir. Jalan dekat, tapi dipikir. Mager meraja, keringat tersingkir. Asap motor pun jadi zikir.

Seorang pemuda tertangkap kamera, naik motor sejauh 53 meter hanya untuk beli segelas es teh.
Reporter di lapangan melaporkan: "Tersangka beralasan, kalau jalan kaki, nanti sandal jadi kotor."
Polisi lalu lintas hanya bisa geleng-geleng sambil mencari helm ukuran hati nurani.

Budaya mager tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh subur bersama kemajuan teknologi yang katanya ingin memudahkan hidup, tapi sering justru memanjakan malas. Semua serba instan: belanja tinggal klik, makan tinggal pesan, komunikasi tinggal ketik emoji. Akibatnya, gerakan tubuh yang dulu menjadi bagian alami kehidupan-jalan, angkat, angkut-perlahan tergantikan oleh tombol di layar ponsel.

Kendaraan bermotor sebenarnya solusi, tapi berubah jadi candu. Harga kredit yang mudah, bensin yang relatif terjangkau, dan gengsi punya roda dua atau empat, membuat orang enggan lagi pakai kaki. Trotoar jadi sepi, sementara parkiran supermarket sampai tumpah ruah. Ironinya, kadang jarak yang ditempuh motor itu lebih singkat daripada waktu parkirnya. Tapi toh, tetap motor yang menang, bukan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun