Mager tidak hanya mengikis keringat, tapi juga mengikis interaksi sosial. Dulu, belanja di pasar berarti ngobrol, bercanda, tawar-menawar. Sekarang, semua diganti dengan notif: "Pesanan Anda sudah diterima driver." Hubungan manusia bergeser dari tatap mata ke tatap layar. Dan kesehatan? Jangan tanya. Obesitas, penyakit jantung, hingga stres karena kurang bergerak, semua jadi paket lengkap dari budaya mager.
Budaya mager ini bukan sekadar malas jalan.
Ini soal mentalitas: lebih rela macet di parkiran daripada jalan 3 menit. Lebih suka klakson ketimbang sapa-tangan. Lebih suka asap motor ketimbang aroma tanah selepas hujan.
Nenek moyang kita dulu jalan kaki puluhan kilometer merebut kemerdekaan.
Cucu-cucunya sekarang berebut diskon kopi susu... dengan naik motor sampai pintu kafe.
Mungkin suatu hari akan ada kursus resmi:
"Cara Jalan Kaki Tanpa Merasa Repot."
Lucu? Ya. Ironis? Lebih iya lagi.
Jadi, kapan terakhir kali kamu jalan kaki tanpa alasan "olahraga"? Kalau nggak ingat, mungkin saatnya tanya ke diri sendiri: "Kaki ini masih buat jalan, atau cuma buat memasukkan gigi perseneling dan injak rem?"
Pada akhirnya pula, kota ini penuh jalan, tapi bukan untuk kaki.
Penuh trotoar, tapi jadi tempat parkir.
Kaki hanya jadi aksesori tubuh, sementara motor jadi kaki kedua.
Apakah kita benar-benar sudah merdeka...
atau hanya jadi budak mager bermesin bensin?
Pak Dhe, catatan senja dari bangku Teras belakang terminal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI