Pagi ini aku duduk di sebuah bangku dekat trotoar. Udara masih lembut, tapi suara dunia sudah riuh. Deru kendaraan, klakson, dan... pedagang kaki lima yang sibuk menata gerobaknya. Ada yang menyiapkan tenda dan gerobak bakso, ada yang mulai menyiapkan arang untuk bakar sate, ada yang berjejer dengan aneka gorengan.
Tiba-tiba datang dua petugas Satpol PP. Suasana jadi agak tegang.
Satpol PP: "Pak, Bu, trotoar ini untuk pejalan kaki, bukan buat dagangan."
Pedagang gorengan: "Lha, pak... pejalan kaki juga jarang lewat sini. Wong yang lapar tiap pagi justru mampir beli gorengan saya."
Satpol PP: "Aturan tetap aturan, Bu."
Pedagang (lirih, sambil menunduk): "Aturan bisa kenyangin perut anak saya, pak?"
Aku terdiam. Sungguh, dialog itu menamparku lebih keras daripada klakson bis yang barusan lewat.
Trotoar, tempat yang katanya untuk langkah kaki, tapi justru hangat oleh aroma kopi dan obrolan rakyat. Di atas paving yang kelihatannya rata, keadilan masih retak.
Di satu sisi, kehadiran pedagang kaki lima di trotoar membuat hidup terasa lebih mudah. Pembeli bisa mampir sebentar saat berangkat kerja, menuntaskan lapar dengan cepat, bahkan menjadikan trotoar sebagai ruang perjumpaan. Tapi di sisi lain, pejalan kaki kadang terpaksa berjalan di pinggir jalan karena trotoarnya sempit tertutup gerobak.
Ada ibu yang harus menggendong anak sambil menepi ke aspal, ada lansia yang kesulitan melangkah karena jalannya tersendat. Dilema itu nyata: antara kenyamanan rakyat kecil yang berdagang, atau hak dasar pejalan kaki untuk punya ruang aman.