Pagi ini aku duduk di sebuah bangku dekat trotoar. Udara masih lembut, tapi suara dunia sudah riuh. Deru kendaraan, klakson, dan... pedagang kaki lima yang sibuk menata gerobaknya. Ada yang menyiapkan tenda dan gerobak bakso, ada yang mulai menyiapkan arang untuk bakar sate, ada yang berjejer dengan aneka gorengan.
Tiba-tiba datang dua petugas Satpol PP. Suasana jadi agak tegang.
Satpol PP: "Pak, Bu, trotoar ini untuk pejalan kaki, bukan buat dagangan."
Pedagang gorengan: "Lha, pak... pejalan kaki juga jarang lewat sini. Wong yang lapar tiap pagi justru mampir beli gorengan saya."
Satpol PP: "Aturan tetap aturan, Bu."
Pedagang (lirih, sambil menunduk): "Aturan bisa kenyangin perut anak saya, pak?"
Aku terdiam. Sungguh, dialog itu menamparku lebih keras daripada klakson bis yang barusan lewat.
Trotoar, tempat yang katanya untuk langkah kaki, tapi justru hangat oleh aroma kopi dan obrolan rakyat. Di atas paving yang kelihatannya rata, keadilan masih retak.
Di satu sisi, kehadiran pedagang kaki lima di trotoar membuat hidup terasa lebih mudah. Pembeli bisa mampir sebentar saat berangkat kerja, menuntaskan lapar dengan cepat, bahkan menjadikan trotoar sebagai ruang perjumpaan. Tapi di sisi lain, pejalan kaki kadang terpaksa berjalan di pinggir jalan karena trotoarnya sempit tertutup gerobak.
Ada ibu yang harus menggendong anak sambil menepi ke aspal, ada lansia yang kesulitan melangkah karena jalannya tersendat. Dilema itu nyata: antara kenyamanan rakyat kecil yang berdagang, atau hak dasar pejalan kaki untuk punya ruang aman.
Berita online pagi ini: Pedagang kaki lima masih harus kucing-kucingan dengan aparat demi sesuap nasi. Di tengah maraknya wacana kota modern, rakyat kecil justru makin kehilangan ruang. Sementara proyek-proyek nasional berskala triliunan rupiah kadang mangkrak tanpa hasil, pedagang gorengan di trotoar tetap berdiri dengan semangat-menyalakan wajan, meski dikejar-kejar aturan.
Kota modern katanya dibangun untuk semua. Gedung-gedung menjulang, trotoar dilebarkan, taman-taman ditata indah. Tapi siapa yang bisa menikmatinya?
Rakyat kecil terusir, sementara penguasa tersenyum di balik laporan sukses pembangunan.
Modernisasi di negeri ini kadang terasa seperti panggung sandiwara: tata lampu gemerlap, tapi pemain utamanya kelaparan di belakang layar.
Ironi bangsa ini: trotoar diperebutkan. Pejalan kaki ingin ruang aman, pedagang ingin ruang hidup, penguasa ingin kota tampak modern. Tapi siapa yang akhirnya kalah? Tentu saja rakyat kecil.
Dan sementara itu, harga sembako terus naik-turun bagai ombak tak menentu. Cabai bisa lebih mahal dari daging, beras yang katanya surplus justru bikin ibu-ibu antre panjang. Pajak kendaraan naik, listrik naik, air naik, semua serba naik---kecuali pendapatan rakyat. Lucunya, di saat rakyat pusing mengatur dompet, wakil rakyat di Senayan bisa berjoget ria merayakan kenaikan tunjangan rumah mereka puluhan juta rupiah.
Di bawah terik matahari, pedagang gorengan harus sembunyi-sembunyi demi sesuap nasi. Di bawah lampu gedung megah, anggota dewan yang terhormat menari tanpa rasa bersalah. Satpol PP bisa angkuh pada rakyat kecil, tapi bisu saat korupsi merajalela. Keadilan sosial, katanya, untuk seluruh rakyat Indonesia. Tapi di jalanan, keadilan itu terasa seperti barang mewah yang hanya bisa ditonton dari balik kaca mobil pejabat.
Ah, trotoar ini seolah cermin negeri: sempit, berebut, penuh luka, tapi tetap jadi tempat orang bercengkerama.
Pak Dhe menutup catatannya sambil menyeruput kopi sachet dari pedagang trotoar, hangatnya sederhana, lebih jujur daripada pidato pembangunan di layar televisi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI