(Sebuah Catatan dari Republik Diri Sendiri)
Di sebuah negeri modern bernama Republik Diri Sendiri, waktu adalah mata uang yang paling suci. Tiap warganya lahir dengan chip penjadwal di lengan kiri dan kamera selfie di lengan kanan. Sejak usia lima tahun, mereka diajari cara menyusun presentasi pribadi dan strategi menghindari pertanyaan tidak produktif seperti: "Apa yang kamu rasakan hari ini?"
Setiap pagi, warga bangun bukan karena matahari, tapi karena alarm Rapat Evaluasi Diri. Lalu dilanjutkan Rapat Strategi Personal Branding, Rapat Konsolidasi Citra, dan tentu saja, Rapat Skala Prioritas Ego.
Tak ada ruang untuk duduk bersama. Kursi hanya disediakan di ruang kerja pribadi, lengkap dengan lampu ring-light dan latar rak buku palsu. Semua hubungan dikelola dengan format "hubungi jika perlu" dan "balas saat sempat".
Namun, suatu hari, pesan nyeleneh muncul di semua papan digital kota. Ditulis dengan font sederhana, tanpa emoji, tanpa link tambahan:
"Mari duduk. Tak perlu agenda. Cukup dengarkan. Cukup hadir."
Pesan itu dikirim oleh Empatiana, seorang warga biasa yang tak punya banyak pengikut, tak aktif di forum pencapaian, dan dikenal kemana-mana lebih sering membawa termos kopi daripada gawai canggih.
Masyarakat heboh. Komentar paling banyak disukai: "Waspada, ini bisa mengganggu kestabilan produktivitas nasional."
Ketua Menteri Kepentingan Pribadi memanggil rapat darurat. Hadir pula: Duta Besar Personal Branding, Ketua Komite Konsistensi Gaya Hidup, Direktur Jenderal Manajemen Citra, dan juru bicara Divisi Pengendalian Emosi Tak Terjadwal.
Rapat Akbar Para Ego dimulai.
"Saudara-saudari sekalian," buka sang Ketua Menteri dengan nada formal, "hari ini kita menghadapi ancaman serius: seseorang mencoba mengajak kita... merasa."Â