LAGU YANG TAK SELESAI
Bab 8 Bayang-Bayang di Balik Senyap
Kabut pagi menyelimuti Ambarawa, menggantung rendah seperti kerudung kelabu yang enggan tersingkap. Dari balik kawat berduri Camp Interniran 6, pagi datang bukan sebagai harapan, tapi sebagai pengingat bahwa waktu terus berjalan meski hidup seakan berhenti. Di antara barak-barak lembab dan bau anyir logam, Nora duduk bersandar, memeluk lutut dengan tangan gemetar, menggenggam sepotong roti singkong kering yang disimpannya sejak semalam.
Tapi bukan dingin yang membuatnya menggigil.
Pambudi tak muncul.
Biasanya, lelaki itu menyelinap dalam gelap, membawa sebotol air hangat, sepenggal kabar dari luar, atau sekadar seulas senyum yang menghangatkan lebih dari makanan. Namun pagi itu hening. Tak ada langkah mendekat. Tak ada bisikan dari pagar kayu dapur logistik. Hanya gumaman dari para penjaga yang begitu lirih, namun cukup untuk menggetarkan dinding hatinya:
"Ada pekerja lokal yang ditangkap semalam..."
Nora tak butuh nama. Hatinya tahu. Itu Pambudi.
Gemetar itu kini mengendap di dadanya. Ia duduk diam di tanah dingin, menahan air mata yang menggenang di pelupuk. Wajah lelaki itu hadir begitu jelas, mata yang selalu mencarinya di antara kerumunan, suara yang menyisipkan harapan dalam malam-malam yang penuh cemas.
"Kenapa kau begitu bodoh, Pam..." bisiknya pelan. "Kenapa kau membantu kami, saat kau tahu kau bisa dibunuh karenanya?"