Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibadah Mawas Diri dan Stop Menagih Simpati

13 Maret 2025   15:55 Diperbarui: 13 Maret 2025   17:01 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibadah Mawas Diri (Sumber: Pixabay/Suttlemedia)

Orang bisa berkata bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan dengan beribadah setiap waktu, setiap saat berdzikir, hatinya tentram dan mudah sekali belajar bersyukur. Perlu diketahui tidak sedikit orang yang berbeda dengan kondisi tersebut.

Orang yang berkata demikian, bisa jadi memang secara ekonomi sudah mapan, dimuliakan dimana-mana, salam tempelnya menyesakkan sakunya hingga meluber ke belakang tempat duduknya, belum fasilitas dari pejabat yang diendors.

Di luar itu, banyak sekali mustad'afin yang sejatinya perlu aktualisasi dari inklusifitas islam itu sendiri. Sehingga islam benar-benar hadir sebagai agama, igama dan ugama. Bukan tuntutan, atau semacam dogma-dogma semata.

Berhenti untuk menghakimi mereka yang tidak berpuasa adalah modal menjaga kestabilan mental. Mental bagi mereka agar tidak ciut hatinya, merasa berbeda. Pun kesehatan mental bagi yang merasa mampu berpuasa, yang merasa bisa mendekatkan diri kepada Tuhan dengan jalur ibadah syar'i, bahkan yang sudah begitu gampangnya mengatakan mudah sekali bersyukur kepada Tuhan.

Kesehatan mental itu terkadang bukan saja dilabelkan kepada mereka yang stress dengan tekanan sosial, tetapi bisa juga bagi mereka yang merasa aman dengan zona yang sedang ditempatinya. Dalam hal apapun, agama, perut, jabatan dan eksistensi.

Apa Salahnya Belajar Menahan Diri

Tidak sedikit ketika momen bulan ramadan bahkan di luar ramadan yang kerap menghakimi orang lain, sembari juga memuja dan memuji yang lain. Menghakimi dan memuji sejatinya sama saja, dampaknya saja yang berbeda.

Utamanya, untuk mempertegas dirinya dan menjatuhkan diri yang lain. Prinsipnya sama yaitu menjadikan orang lain sebagai objek atas dirinya.

Sederhanya, tidak jarang untuk menjaga moralitasnya harus menjatuhkan orang lain, selagipun dengan dalil dan dasar dari kitab suci. Pun sebaliknya, untuk menjaga zona  nyaman harus memuji orang lain sehingga mereka bersimpati.

Pertanyaannya adalah segala yang terjadi di muka bumi ini adalah hukum Tuhan, sebagai hamba perintahnya jelas, mengabdi kepadaNya, Melakukaan kebaikan dan menjauhi keburukan, Melakukan apa yang diperintah olehNya dan menjauhi laranganNya.

Lantas, mengapa harus menghukumi orang lain demi untuk meninggikan dirinya, atau memuji orang lain untuk meraih simpatinya? mengapa tidak wa isbir lihukmi rabbika, fainnaka bia'yunina.  La iya kenapa tidak mau belajar menahan diri, minimal ya sadar bahwa di luar kemampuan kita itu ada kemampuan yang lebih besar dan Maha Segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun