Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Tunangan Itu Penting?

14 November 2020   19:52 Diperbarui: 14 November 2020   19:55 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tunangan, lamaran, nekket betton, maminang, batuka tando, nyongkolan dan lain sebagainya adalah istilah untuk proses awal sebuah pernikahan. Simbol ikatan dan silaturrahmi dua sejoli pun keluarga inti.

Hal ini dilakukan di samping mengikat, dan silaturrahmi tentu menjadi prasyarat atas pembangunan batas relasi yang ada di dalam diri dengan pria atau wanita lain. Karena tambatan hatinya sudah diikat, walaupun belum terucap ijab.

Yang menarik adalah substansi yang muncul dalam ruang-ruang ikatan tersebut. Terlebih bagi kedua pasangan. Kalau berbicara perihal kebahagiaan, siapa yang tidak bahagia dengan berlangsungnya acara pra nikah tersebut. Karena selangkah lagi pelaminan sudah menanti.

Di luar itu, yang sulit adalah menjaga. Menjaga bangunan yang hampir jadi, ibarat bahtera yang sedang menjalani tes awal; adakah kebocoran, atau kurang seimbang layar dan kemudinya, dan lain sebagainya.

Angin, gempa, goncangan, ombak lautan menjadi simbol sebuah pergerakan hati. Sehingga proses menjaga lebih sulit tentunya ketimbang membangun.

Secara sosial, ikatan yang ada dalam sebuah relasi adalah pertanda, syarat yang lekat dan harus berada di jalurnya. Jika tidak maka akan ada oleng, ketidak seimbangan, kalang kabut oleh carut marutnya puting beliung kehidupan.

Relasi sosial dan ikatannya adalah syarat utama perjalanan menuju bangunan utuh. Saling percaya, saling membangun, saling mendukung, saling ini dan itu. Intinya adalah kesalingan. Tentu menghargai hak dan kewajiban. Karena mau tidak mau, norma kehidupan manusia adalah menghargai dan menyadari setiap hak dan kewajibannya.

Ruang kendalinya ada di dalam hati, dan pendukung mobilisasinya ada di dalam otak atau logika. Ruang kedap suara menjadi ruang permenungan manusia atas apa yang sudah dibangun dan apa yang sudah diikat. Tentu perlu penyadaran diri dan menengok diri lebih dalam lagi.

Istilah jawa mengatakan bahwa kehidupan yang dibangun adalah "polokrami ing dalem bolowismo," bahwa kehidupan itu tiada lain adalah pertautan segala arah. Artinya, bukan hanya kesenangan antara pasangan saja, tetapi juga beberapa pihak yang ada di sekitar.

Sehingga, wajar jika sebelum menikah secara sah maka dalam tradisi jawa ada lamaran atau tunangan. Karena, tidak lain untuk membangun relasi yang sesuai antar kedua belah pihak, baik dengan pihak keluarga, pun dengan kerabat dan tetangga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun