"Kamu intel kan? Siapa yang menyuruhmu? Ayo sini tunjukkan hapemu biar kita lihat isinya. Buktikan kalau kamu bukan intel!"
Pertanyaan itu dilemparkan dengan nada curiga kepada seorang aktivis muda dalam sebuah organisasi progresif. Wajahnya memucat, tangannya gemetar. Ia tidak menyangka, di ruang yang ia bayangkan sebagai tempat aman dan solidaritas, justru tuduhan tanpa dasar menimpa dirinya.
"Kalau aku tunjukkan hapeku lalu kalian tidak bisa menemukan bukti kalau aku intel, apa kalian akan bisa membersihkan nama baik dan rumor yang sudah kalian sebar?" tanyanya kepada semua yang hadir dalam forum.Â
Namun tidak ada jawaban yang sungguh-sungguh melegakan. Tuduhan telah lebih dulu menyebar, lebih cepat daripada klarifikasi. Anak muda itu tidak lagi dilihat sebagai kawan seperjuangan, melainkan sebagai ancaman.
Kisah ini bukan sekadar anekdot. Ia adalah gambaran betapa sering gerakan sosial terjebak dalam perang internal yang melemahkan dirinya sendiri. Dengan membungkam kritik melalui stigma "intel", gerakan justru kehilangan vitalitasnya.
Warisan Feodalisme di Balik Wacana Progresif
Gerakan sosial sering lahir dari cita-cita luhur: melawan ketidakadilan, membangun solidaritas, dan membuka jalan menuju masyarakat yang lebih setara.Â
Sejarah memperlihatkan bahwa di dalam tubuh gerakan itu sendiri kadang tumbuh penyakit yang justru merusak dari dalam. Salah satunya adalah reproduksi gaya kepemimpinan feodal, sebuah pola lama yang tetap hidup, meski dibungkus jargon progresif.
Dalam banyak organisasi, pemimpin kerap ditempatkan di singgasana simbolik: dianggap paling bijak, paling berpengalaman, dan karenanya paling benar. Kritik terhadap mereka mudah dipersepsikan sebagai ancaman, bukan sebagai perawatan kolektif.Â
Situasi ini membuat gerakan kehilangan vitalitas demokratis; struktur hierarkis lebih dominan ketimbang musyawarah sejati. Seperti kerajaan kecil yang terulang dalam bentuk baru, pimpinan menjadi pusat kebenaran, sementara anggota dituntut tunduk.