Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gerakan yang Memakan Anaknya: Feodalisme, Tuduhan Intel, dan Cancel Culture

13 September 2025   11:22 Diperbarui: 14 September 2025   08:26 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu intel kan? Siapa yang menyuruhmu? Ayo sini tunjukkan hapemu biar kita lihat isinya. Buktikan kalau kamu bukan intel!"

Pertanyaan itu dilemparkan dengan nada curiga kepada seorang aktivis muda dalam sebuah organisasi progresif. Wajahnya memucat, tangannya gemetar. Ia tidak menyangka, di ruang yang ia bayangkan sebagai tempat aman dan solidaritas, justru tuduhan tanpa dasar menimpa dirinya.

"Kalau aku tunjukkan hapeku lalu kalian tidak bisa menemukan bukti kalau aku intel, apa kalian akan bisa membersihkan nama baik dan rumor yang sudah kalian sebar?" tanyanya kepada semua yang hadir dalam forum. 

Namun tidak ada jawaban yang sungguh-sungguh melegakan. Tuduhan telah lebih dulu menyebar, lebih cepat daripada klarifikasi. Anak muda itu tidak lagi dilihat sebagai kawan seperjuangan, melainkan sebagai ancaman.

Kisah ini bukan sekadar anekdot. Ia adalah gambaran betapa sering gerakan sosial terjebak dalam perang internal yang melemahkan dirinya sendiri. Dengan membungkam kritik melalui stigma "intel", gerakan justru kehilangan vitalitasnya.

Warisan Feodalisme di Balik Wacana Progresif

Gerakan sosial sering lahir dari cita-cita luhur: melawan ketidakadilan, membangun solidaritas, dan membuka jalan menuju masyarakat yang lebih setara. 

Sejarah memperlihatkan bahwa di dalam tubuh gerakan itu sendiri kadang tumbuh penyakit yang justru merusak dari dalam. Salah satunya adalah reproduksi gaya kepemimpinan feodal, sebuah pola lama yang tetap hidup, meski dibungkus jargon progresif.

Dalam banyak organisasi, pemimpin kerap ditempatkan di singgasana simbolik: dianggap paling bijak, paling berpengalaman, dan karenanya paling benar. Kritik terhadap mereka mudah dipersepsikan sebagai ancaman, bukan sebagai perawatan kolektif. 

Situasi ini membuat gerakan kehilangan vitalitas demokratis; struktur hierarkis lebih dominan ketimbang musyawarah sejati. Seperti kerajaan kecil yang terulang dalam bentuk baru, pimpinan menjadi pusat kebenaran, sementara anggota dituntut tunduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun