Tuduhan Intel: Senjata untuk Membungkam
Dalam iklim feodal ini, tuduhan "intel" sering dijadikan senjata ampuh. Anggota yang kritis dituding sebagai penyusup, agen provokator, atau pemecah belah.Â
Tuduhan semacam ini jarang dibuktikan, tetapi cukup untuk menstigma. Efeknya sangat destruktif: gerakan terjebak dalam paranoia, saling curiga, dan kehilangan kemampuan membangun kepercayaan. Yang kritis dibungkam, yang setia pada pimpinan justru dianggap paling aman.
Padahal, sejarah gerakan menunjukkan bahwa tuduhan tanpa dasar tidak hanya merusak individu, tetapi juga memperlemah kolektif. Energi yang seharusnya diarahkan keluar, melawan ketidakadilan struktural, justru habis untuk perang internal.
Cancel Culture yang Membelah Solidaritas
Fenomena cancel culture dalam gerakan seharusnya bisa menjadi ruang refleksi: bagaimana komunitas bersama-sama mengoreksi kesalahan tanpa mengorbankan kemanusiaan anggota.Â
Namun, dalam praktiknya, cancel culture sering dipakai sebagai mekanisme penghukuman untuk mengasingkan pihak-pihak yang dianggap "bermasalah", sering kali hanya karena mereka mengajukan kritik.
Proses dialog yang sehat hilang. Yang tersisa adalah stigmatisasi dan pengucilan. Alih-alih tumbuh menjadi gerakan yang dewasa, kolektif malah terjebak dalam siklus trauma dan perpecahan.
Gerakan yang Runtuh dari Dalam
Pola-pola ini memiliki konsekuensi serius. Banyak aktivis muda progresif mundur karena merasa ruang aman berubah menjadi ruang represi.Â
Solidaritas menjadi rapuh karena berbeda pendapat dianggap dosa. Dan yang paling ironis, musuh sejati gerakan, kapitalisme eksploitatif, negara represif, atau patriarki yang hendak digugat, justru diuntungkan.