Beberapa hari lalu, pernyataan Rahayu Saraswati, anggota DPR sekaligus keponakan Presiden Prabowo, sempat menjadi sorotan. Ia meminta anak muda Indonesia untuk tidak berharap pada lowongan kerja pemerintah, melainkan menjadi pengusaha dan pencipta lapangan kerja. Pernyataan ini, di satu sisi, bisa dianggap mendorong kemandirian dan kreativitas generasi muda. Namun di sisi lain, dari perspektif buruh dan pekerja feminis, ucapan ini menyimpan persoalan serius yang tidak bisa disederhanakan dengan motivasi belaka.
Buruh: Ketidakadilan Struktural dan Tanggung Jawab Negara
Bagi kelas buruh, pekerjaan formal, terutama di sektor publik, masih menjadi harapan utama. Bukan semata karena "ingin aman," tetapi karena pekerjaan ini menjanjikan kepastian: gaji tetap, jaminan kesehatan, pensiun, dan perlindungan hukum.
Mengatakan "jangan berharap loker dari pemerintah" berarti mengabaikan fakta bahwa negara memang memiliki kewajiban menyediakan lapangan kerja yang layak. Dalam situasi ekonomi yang rapuh, ketika PHK massal dan kerja kontrak tanpa kepastian merajalela, tanggung jawab pemerintah bukan dilepaskan, melainkan diperkuat.
Selain itu, tidak semua anak muda memiliki akses modal, jaringan, atau literasi keuangan untuk memulai usaha. Menyuruh mereka "jadi pengusaha" tanpa menyediakan dukungan struktural sama saja mendorong banyak orang jatuh ke jurang utang, kerja serabutan, atau wirausaha informal yang rentan. Pada akhirnya, buruh dipaksa menanggung risiko yang seharusnya dipikul negara.
Perspektif Pekerja Feminis: Beban Ganda dan Ketidakadilan Gender
Dari sudut pandang feminis, seruan menjadi pengusaha juga tidak netral gender. Perempuan menghadapi hambatan lebih besar dalam mengakses modal, kredit, maupun pelatihan. Statistik global menunjukkan wirausaha perempuan masih jauh tertinggal dibanding laki-laki karena bias struktural.
Lebih jauh, mayoritas perempuan pekerja sudah menanggung beban ganda: bekerja mencari nafkah sekaligus melakukan kerja domestik dan perawatan yang tidak dibayar. Menyuruh mereka menjadi entrepreneur tanpa dukungan sosial (penitipan anak, cuti melahirkan, layanan publik) hanya menambah beban baru.
Selain itu, banyak usaha perempuan bertumpu pada sektor domestik, kuliner, fashion rumahan, jasa perawatan, yang sering kali dianggap "pekerjaan perempuanan" dan minim perlindungan. Alih-alih membebaskan, ajakan kewirausahaan bisa melanggengkan ketidakadilan ekonomi gender jika negara tidak hadir.
Menggabungkan Kemandirian dan Keadilan Struktural
Semangat untuk tidak bergantung sepenuhnya pada negara memang penting. Tetapi menegasikan tanggung jawab negara dalam menyediakan pekerjaan layak jelas keliru. Jalan tengah yang lebih adil adalah:
- Negara tetap wajib menjamin lapangan kerja formal dengan perlindungan sosial yang kuat.
- Kewirausahaan bisa didorong, tapi inklusif: ada akses modal mikro, pendampingan, dan regulasi yang berpihak pada kelompok rentan.
- Kebijakan harus sadar gender: menyediakan dukungan bagi perempuan pekerja dan wirausaha agar tidak terjebak beban ganda.