Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu...

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan Sang Mahabudaya

18 Agustus 2015   04:42 Diperbarui: 18 Agustus 2015   05:02 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak yang berpendapat bahwa Agama wahyu dan Agama budaya itu memiliki perbedaan prinsip. Berdasarkan asumsi perbedaan prinsip tersebut mereka mulai memperingkatkan keduanya. Konsekuensi logis dari pemeringkatan tersebut adalah munculnya asumsi bahwa yang berdasarkan wahyu lebih segalanya dari yang berdasarkan budaya.

Benarkah agama wahyu dan agama budaya itu merupakan dua entitas berbeda yang selalu terpisah? Sebenarnya secara prinsip tidak berbeda dan tidak selalu terpisah. Bila demikian, dalam situasi budaya yang bagaimanakah yang memisahkan dan membedakan keduanya? Jawaban untuk pertanyaan ini saya tunda, dan akan jelas dengan sendirinya setelah paparan tentang kemahabudayaan-Nya.

Alih-alih anti-budaya, wahyu Tuhan itu sangat berbudaya. Ia bahkan mahabudaya. Bila ditinjau secara mikro, memang wahyu Tuhan itu bertujuan untuk mengoreksi adat atau budaya setempat, namun secara makro, Tuhan sangat “gemati” (mencermati) budaya. Hal ini dibuktikan dengan cara penyampaian pesan-Nya yang beragam dan disesuaikan dengan lingkungan budaya tujuan.

Dihadapan budaya timur (Asia) yang lebih menonjolkan kepekaan rasa dalam berelasi dengan alam dan sesama makhluk, Tuhan menyembunyikan identitasnya dan menyampaikan pesan pada orang-orang unggul/ pilihan atau sebut-lah ‘nabi’-Nya, dalam bentuk “pencerahan”. Pencerahan itu cukup dalam bentuk pertanyaan radikal sebagaimana Sang Buddha Gautama mempertanyakan makna derita manusia atau bahkan hanya dalam bentuk tanda-tanda alam (pratanda). Isi pesan yang disampaikan-Nya pun cenderung hanya yang bersifat mendasar dan bersifat spiritual. Pesan yang isi dan tujuannya untuk lebih menyelaraskan kehidupan”olah-batin” manusia dengan “gerak” alam dan masyarakatnya. Keselarasan yang senantiasa dinamis dan bersifat kontinjen (alih-alih pencarian kebenaran mutlak atau universal) menjadi patok utama pencerahan. Dalam hal ini tidak muncul pertentangan antara adat atau budaya dan pesan-Nya. Gautama hadir terutama bukan untuk merevolusi tatanan masyarakatnya. Adat atau perilaku belum menjadi penghalang atau cacat utama di dalam budaya timur. Motivasi atau gerak batin-lah yang ditonjolkan. Keselarasan hanya akan muncul bila setiap orang berhasil mempertajam dan memurnikan gerak atau olah batinnya.

Di hadapan masyarakat Yahudi yang cerdas dan menonjolkan kepiawaian berpikir, Tuhan Perjanjian Baru menghadirkan sisi personal-Nya. Ia amat mengetahui, bahwa sebagian besar masyarakat Yahudi mengalami “deprivasi kehangatan personal” akibat terlampau menonjolkan aktivitas berpikir. Ia kirimkan putera tunggal-Nya ke tengah mereka yang haus akan bukti kebesaran kasih-Nya. Ia jadikan mereka putera-puteri kerajaan Allah.

Di hadapan masyarakat Arab (dan mungkin juga dalam masyarakat Yahudi Pra-Perjanjian Baru yang baru mengenal Tuhan) yang cenderung lebih menonjolkan kekerasan dan ketegasan lugas untuk mengatasi tantangan lingkungan budaya “tuan pedagang dan budak” yang amat keras, maka Tuhan menghadirkan sisi keberjarakan, kebesaran kekuasaan dan kebenaran aturan mutlak tanpa kompromi. Kegamblangan, kerincian, sifat menyeluruh, dan mutlak serta ragam aturan transaksional menjadi ciri dasar pesan (wahyu)-Nya yang berujud nyata (gamblang) yaitu kitab suci (Alquran).

Dari ketiga gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa wahyu Tuhan dan budaya itu merupakan kesatuan padu yang tak terpisahkan. Melalui wahyu-Nya, Tuhan menawarkan “kepenuhan/kegenapan” bagi manusia.Tawaran “penggenapan atau kepenuhan” yang kurang atau agak diabaikan oleh lingkungan budaya setempat. Tidak ada bentuk yang lebih hebat atau benar di antara ketiga bentuk penyampaian pesan-Nya tersebut. Masing-masing bentuk penyampaianya bersifat unik seturut kekhasan bentuk kebutuhan budaya, meskipun tentu saja ada beberapa hal yang bersifat tetapan. Untuk menggambarkan cara mahabudaya -Nya, saya lebih suka mengutip potongan kalimat dari Bpk. Gunawan Mohamad (dalam salah satu “Catatan Pinggir”-nya yang berjudul “Batman” ) : “ wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi”.

Mungkin “Batman dan kota Gotham” yang dikisahkan oleh Bpk. Gunawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di atas dapat menjadi analogi yang inspiratif. Bukankah Batman-pun selalu sama dalam kebaruannya?

Dengan demikian, wahyu dan budaya itu senantiasa padu atau saling menggenapi. Keduanya jadi terkesan berbeda dan bertentangan ketika masing-masing ada pada titik ekstrim. Wahyu yang menuntut pemahaman secara radikal ketika wahyu itu berhadapan dengan ekstrimitas budaya. Tujuan utama radikalitas wahyunya adalah untuk membentuk ketaatan “kerumunan” (cenderung lebih menonjolkan bentuk perilaku/ritual) menjadi keseragaman spirit “komunitas” demi pencapaian atau pencerahan kebenaran mutlak kehendak Allah. Keseragaman pola perilaku taat jadi sangat ditonjolkan di hadapan masyarakat Arab yang memang membutuhkan tatanan ketertiban seperti itu. Spirit lebih disurutkan ke latar belakang. Kesesuaian antara bentuk wahyu dan situasi kondisi masyarakat setempat ini mencerminkan bahwa wahyu pun senantiasa ada dalam atau bahkan mungkin melampaui namun tidak pernah terpisah dari kerangka budaya yang menyejarah.

Konsekuensi logis dari simpulan di atas adalah bahwa agama yang mengalami semacam migrasi atau alihan geografis selalu harus diterjemahkan ulang dalam bahasa budaya lokal, karena setiap pesan senantiasa mengandung “spirit atau motif” yang melahirkan-nya. Spirit-Nya-lah yang dapat bersifat mutlak dan universal sedangkan sebagian besar isi pesan-Nya sudah baur atau tersisipi pengaruh budaya. Tuhan-pun sangat arif dan bijak karena sudah mempercayakan faktor “penyesuaian pesan” ini kepada manusia-manusia bebas yang mampu menangkap spirit di balik pesan -Nya. Di luar dari spirit-Nya (semangat-Nya yang universal) terbentang luas ranah abu-abu pesan yang rentan dijadikan obyek radikalisasi “klaim” yang bersifat ekspansif.

Disebut sebagai radikalisasi klaim yang ekspansif karena membaurkan pesan dengan spirit dan dengan demikian memutlakkannya . Pesan yang cenderung membumi dan karenanya terikat oleh ruang dan waktu (budaya) diradikalisasi menjadi hal yang sama dan satu dengan spirit-Nya yang bersifat universal dan tetapan. Bentuk radikalisasi pesan inilah yang harus dilawan dan ditertibkan sesuai dengan keunikan budaya setempat. Karena radikalisasi seperti itu senantiasa muncul dari “kepentingan” sempit manusia yang memaknai pesan-Nya. Bukti dari adanya keterlibatan unsur kepentingan manusia yang meradikalkan pesan-Nya ini adalah bahwa dalam masyarakat sumber yang sama budayanya-pun peradikalan makna pesan ini masih jadi bahan perdebatan atau bahkan jadi sumber perpecahan yang membentuk ragam aliran atau mazhab.

Budaya setempat harus mampu melawan (resisten), menyaring atau bahkan memberi warna baru yang merupakan ciri-unik budayanya pada berbagai hal yang masih “meragukan” dan masih menjadi bahan perdebatan atau sumber konflik tersebut. Untuk itu diperlukan sikap percaya diri dan kemauan serta tekad untuk senantiasa mencintai, menggali dan mengeruk harta atau warisan kekayaan budaya yang melimpah.

Faktor kritis kepercayaan-diri anak bangsa pada budayanya sendirilah yang kini sedang dipulihkan atau ditingkatkan oleh Presiden Jokowi. Namun masalahnya jadi tidak sederhana, manakala budaya lokal/nasional telah diperlemah oleh pengaruh budaya asing lain. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyulut api perbedaan melalui benturan-benturan yang sengaja dikondisikan. Benturan yang mengancam persatuan dan kian memperlemah kepercayaan-diri budaya lokal/nasional. Mungkin hal seperti inilah yang dimaksud oleh Bpk. Presiden Jokowi sebagai “perang” –nya anak bangsa.*)

Dari simpulan di atas masihkah kita menganak-tirikan aliran kepercayaan? Masihkah kita meributkan atau bahkan menolak Islam Nusantara? Atau bahkan masihkah kita bersikukuh pada pembatasan undang-undang terkait pembatasan jumlah keyakinan yang secara resmi diakui? Mungkin, sekaranglah saatnya kita berani berkata tidak. Merdeka !

Tulisan ini terinspirasi dari :
Batman, Catatan Pinggir, Gunawan Mohamad
Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~
https://caping.wordpress.com/category/pepeling/

*) NB: ke wacana tentang “perang”-nya Bpk. Presiden Jokowi

Perang yang bahkan telah mulai meracuni bumi tanah tempat tumbuh kembangnya pohon demokrasi dan keberbhinekaan. Pohon yang telah kita pilih dan sepakati bersama kini terancam layu oleh racun radikalisasi dan kebencian. Kebencian yang menyulut ragam penistaan pada praksis dan nilai hidup yang menjunjung tinggi keberbhinekaan.

Racun itu terserap melalui pori-pori bumi demokrasi yang berlabel kebebasan mengemukakan pendapat. Karenanya tanah harus segera dibajak-ulang, yang masih baik harus diselamatkan, yang tercemar harus dipinggirkan. Baru setelah benar-benar bebas dari cemaran tanah-lah, kita layak bicara kembali tentang pohon demokrasi! ( Mungkin atas dasar alasan inilah Bpk. Presiden mulai bertekad untuk menghidupkan kembali pasal penistaan )

#kecerdasanjamak #saveourhealthybelief

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun