KEKUATAN paspor Indonesia baru-baru ini menjadi pembahasan di media sosial karena peringkatnya kalah telak dari Timor Leste, negara tetangga yang baru 'seumur jagung'.
Kalau dibandingkan Singapura dan Malaysia memang tidak begitu mengagetkan kalau kalah kuat. Tapi Timor Leste?
Apa alasannya?
Jawaban sederhananya ialah karena Indonesia masih termasuk negara miskin.Â
Dilansir dari situs dw.com, faktor kesejahteraan ekonomi sebuah negara sangat menentukan tingkat kekuatan paspornya. Makin makmur negaranya, makin besar keuntungan ekonomi yang bisa dibagikan pada negara yang dikunjungi.
Masalahnya, apakah Indonesia sudah termasuk negara yang makmur?
Faktanya memang Indonesia pernah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas tetapi pandemi Covid-19 membuat negara kita kembali ke kelompok negara menengah bawah, ungkap situs theconversation.
Jangan tertipu pula dengan ukuran ekonomi kita yang tampak raksasa, karena semua itu baru didominasi konsumsi. Bukan produksi.Â
Ini masuk akal karena populasi Indonesia sangat banyak.Â
Pertumbuhan ekonomi kita juga masih digenjot sebagian besar oleh tingkat konsumsi rakyat, jelas kompas.com. Jika rakyat kita banyak yang menghemat dan tak mau belanja banyak-banyak, pertumbuhan ekonomi bisa surut.Â
Maka dari itulah mengapa jalan pintas menggenjot ekonomi ialah dengan memberi subsidi dan menyuntikkan duit untuk kelompok bawah dalam bentuk subsidi BBM dan gas dan juga BLT Tunai.Â
Sayangnya taktik itu cuma efektif untuk jangka pendek. Dalam jangka panjang, itu semua akan membuat kita terus miskin.
Alasan kedua ialah perseteruan kita dengan Belanda di kancah internasional soal pengakuan kedaulatan setelah proklamasi 1945.Â
Hubungan yang pahit dengan mantan penjajah ini berpengaruh juga pada lobi dan negosiasi diplomatik di banyak sektor termasuk urusan paspor.
Seorang pengguna Quora bernama Rofiqul Huda mengungkapkan bahwa ketidakakuran Belanda dan Indonesia itu memicu lemahnya paspor RI bahkan sampai sekarang.
Ia membandingkan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia serta Brunei yang kemerdekaannya didukung bekas penjajah mereka, Inggris. Sebagaimana kita tahu, kekuatan lobi Inggris di pergaulan internasional memang tak diragukan lagi.
Ibaratnya, kita memutus tali silaturahmi dan kena getahnya.
Mungkin jika Belanda dengan sukarela mengakui kemerdekaan, Indonesia bakal diuntungkan lebih banyak soal paspor.
Tapi tentunya kita tak bisa mengubah sejarah dan tak bisa menyalahkan masa lalu.Â
Alasan ketiga ialah kebijakan luar negeri Indonesia yang netral dan "bebas aktif", yang membuat kita justru mengambang tak jelas di pergaulan antarnegara.
Masih menurut Rofiqul Huda, kebijakan luar negeri Indonesia yang demikian terlalu utopis alias idealis. Akibat terlalu idealis, akhirnya malah sengsara sendiri.
Kebijakan luar negeri Indonesia juga cenderung pasifis, tak mau berkonfrontasi dengan negara lain.
Contohnya sistem ekonomi kita yang 'abu-abu'. Mengaku menerapkan sistem ekonomi Pancasila, Indonesia kebingungan dengan ekonominya sendiri.
Pemerintah kita bahkan tercatat pernah tak berdaya mengendalikan harga pasaran minyak goreng yang diproduksi 4 produsen besar di tahun 2022 lalu (kompas.com). Anda tentu masih ingat riuh rendahnya bangsa kita sampai Megawati Sukarnoputri saja mengajak ibu-ibu rumah tangga merebus makanan daripada menggoreng. Itu cuma secuil contoh ketidakmampuan pemerintah kita dalam menjadi regulator yang baik dan tegas.
Ekonomi Pancasila yang digadang-gadang konon menggabungkan sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi terpusat tapi pada kenyataannya ketimpangan ekonomi makin nyata (menurut data Bank Dunia).
Kondisi ekonomi diperparah dengan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Buktinya Indonesia masih kalah bersih (cuma meraup skor 38) dari Timor Leste yang berhasil meraih skor 41 di tahun 2022 menurut Transparency International (tempo.co).
Alasan terakhir ialah karena sebagian diplomat kurang kompeten, demikian menurut pendapat Rofiqul Huda di Quora.com.
Seperti kita sudah ketahui, urusan yang tidak diserahkan pada ahlinya akan berantakan.
Demikian juga saat sebuah jabatan diisi dengan orang yang kurang menguasai bidang itu.Â
Masih banyak pos duta besar Indonesia untuk negara-negara asing yang diserahkan untuk orang-orang yang bukan diplomat karier sehingga berakibat pada minimnya pencapaian dalam negosiasi-negosiasi penting termasuk akses bagi WNI ke negara-negara tersebut.
Lagi-lagi kita tersabotase diri sendiri dengan 'budaya' kolusi dan nepotisme yang terus saja lestari sampai kini dan dimaklumi hingga level petinggi. (*/)