Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Megawati, Pemilu Mubazir dan Koalisi "Perahu Pelampung"

19 September 2022   02:09 Diperbarui: 6 Oktober 2022   14:52 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar-koalisi partai-tangselpos.id

Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengusulkan kepada penyelenggara pemilu agar nomor urut partai politik ( parpol ) peserta Pemilu 2019 tak diubah untuk Pemilu 2024 dan seterusnya, alasannya sederhana biar tak mubazir dana pemilu. Logikanya sih pas, tapi apa pas juga buat partai konstituen lain?.

Menurut pandangan Megawati, ia  melihat KPU bisa memahami jika konteks-nya demi penghematan biaya pemilu yang luar biasa besar.  "Saya tentu sebagai partai, saya bilang boleh saja dong mengusulkan, nanti kalau partai lain saya belum tahu, tapi ini prinsip," ucap Megawati. 

Sedangkan partai baru dan lolos verifikasi, bisa mendapat nomor lain yang belum menjadi nomor parpol yang sudah pernah jadi peserta pemilu. "Sehingga dengan demikian, suatu saat ke depannya nomor itu kepegang terus. Tentunya dari sisi pendidikan pembelajaran kepada rakyat, rakyat itu kan nantinya sudah pasti bertanya-tanya. Usulan ini kalau saya lihat prinsip sangat bisa dimengerti,"ujar Megawati.

Jadi dengan bertambahnya barisan partai peserta pemilu, maka nomor-nomor awal sudah duluan dicatut, sehingga partai baru pastilah mendapat nomor bontot-bagian belakang dan bisa jadi dua digit semua. 

Jika merujuk pada jumlah partai yang lolos pemilu kemarin ada 20, maka partai baru nantinya akan dimulai dari nomor 21. Apakah ini juga menjadi kekuatiran PDIP (dapat nomor bontot) sehingga mengusulkan nomor partai tetap, dengan alasan penghematan dana kampanye.

Ada 20 partai konstituen Pemilu

Diketahui, pada Pemilu 2019 ada 16 parpol nasional yang bertarung. Pada 18 Februari 2018, dilakukan pengundian nomor urut parpol bagi 14 parpol peserta Pemilu 2019. 

Berikut urutan nomor urut parpol peserta Pemilu 2019: 1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 4. Partai Golongan Karya (Golkar) 5. Partai Nasional Demokrat (NasDem) 6. Partai Garuda 7. Partai Berkarya 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 9. Partai Persatuan Indonesia (Perindo) 10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 12. Partai Amanat Nasional (PAN) 13. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 14. Partai Demokrat (PD). 

Nomor urut 15-18 adalah partai politik lokal di Aceh: 15. Partai Aceh 16. Partai Suara Independen Rakyat Aceh 17. Partai Daerah Aceh 18. Partai Nanggroe Aceh. Selanjutnya Partai Bulan Bintang mendapat nomor urut 19, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia  kemudian mendapatkan nomor urut 20.

Ternyata usulan Megawati mendapat respon penolakkan dari Partai Lainnya, seperti Partai Ummat yang menyebutnya sebagai usulan egois.

Namun megawati tak kurang akal, ketika bicara kerja sama politik yang dijajaki PDIP jelang Pemilu 2024, Ketua Umum partai PDI P Megawati justru menawarkan jika ada parpol ingin gabung dengan PDIP, tapi PDIP tak butuh koalisi, seperti dilansir sebuah media.

"Ini memang namanya politik ya jadi tidak bisa mengatakan namanya black and white atau hitam putih. Jadi seharusnya ya sabar saja lah dulu. Ini kan sedang pematangan dalam rangka untuk pelaksanaan. Jadi kalau belum apa apa begitu sudah...ya monggo. Ini kan PDI Perjuangan. Kalau partai lain ingin gabung ke sana, silakan saja. Dan saya memang mengatakan, bukan karena sombong, tapi karena faktualnya PDI Perjuangan kan bisa pegang sendiri, jadi itupun menjadi sebuah bagian dari hitungan ya," urai Megawati.

Bagaimana jika pernyataannya justru memancing parpol lain untuk melakukan perlawanan membalas pernyataan Megawati. Apakah justru tak menimbulkan blunder?. Misalnya beberapa mengorganisir partai gurem di bawah untuk berkoalisi melawan Megawati. Bukan tidak mungkin dalam implementasi dukungan suara di lapangan bisa gembos, jika pernyataan para politisi tidak berhati-hati di forum publik.

Pragmatis dan Oportunis Politik Indonesia

Menariknya dalam fenomena politik di Indonesia, meski saat debat dan pilpres para pesaing saling adu argumen, namun saat pengumuman pemenang kontestasi, akan berakhir di meja koalisi.

Para politisi berpikir oportunis. Jika tak menawarkan diri, maka mungkin tak terlihat syahwatnya, sehingga harus diungkapkan keinginannya untuk tetap bisa membangun koalisi dengan pemenang pilpres. Jika berlaak sok jual mahal, maka pastilah akan diisi oleh rival lain yang sedang menunggu penolakan.

Tentu kita masih ingat betapa "berdarahnya" pilpres 2019 silam, ketika kubu Koalisi Koalisi Indonesia Maju (sebelumnya bernama Koalisi Indonesia Kerja), nama koalisi yang mendukung pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, yakni Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2019.

Disisi seberangnya ada Koalisi Indonesia Adil Makmur, koalisi partai politik di Indonesia yang mendukung Prabowo Subianto--Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden tahun 2019. Koalisi ini terdiri atas 5 partai, antara lain Partai Gerindra, Partai PKS, Partai PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya.  

Tapi apa agendanya setelah hasil putusan  Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan daftar presiden pemenang?. Ternyata keduanya berkoalisi, menjadi rekan daripada berseteru. Agenda kedua rival bersatu di gerbong kereta api. Apakah itu yang disebut oleh para politisi sebagai "politik dagang sapi"?. Menurut  para pendukungnya sikap tersebut dinilai sangat aneh. 

Tapi dalam konteks pelaksanaan pemilu yang damai, keputusan berkoalisi adalah keputusan dinilai baik karena meredam amarah dan persaingan. Namun disisi lain bisa saja pendukungnya menilai sebagai Politik Plin Plan atau Politik Pelampung. Jika tak mau mati tenggelam, maka keputusan bijak adalah mencari pelampung yang membantunya mengangkat beban dan tidak tenggelam.

Itulah yang sering dilakukan oleh para politisi kita ketika terdesak situasi dan kondisi. Dengan alasan pragmatisme, maka pilihan "join bisnis" itu dilakukan antara satu dan dua partai.

Tapi akan menjadi sebuah fenomena menarik, jika karena pernyataan megawati, akan bergabung banyak partai untuk melawan PDIP, bukan itu saja, bagaimana jika partai-partai itu menggembosi si banteng, apa masih bisa menyeruduk dengan garang?.

Hati-hati salah bicara dalam politik oportunis dan pragmatis yang mencari keuntungan, bisa jadi malapetaka dan bumerang. Orang bijak mengatakan, politik lidah bercabang dua, kegunaannya sangat tergantung apa kebutuhannya.

referensi; 1,2,3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun