Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Susahnya Jika Harus Memilih, Punya Anak Pintar, Atau Anak Bahagia

9 Februari 2022   22:24 Diperbarui: 11 Maret 2022   22:45 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan catatan itu, anak cerdas tanpa karakter-moralitas, bisa menjadi sebab ia tidak hanya bisa gagal tapi juga tidak dapat mencapai kesuksesan. Jika ia tidak "merusak" orang lain, dengan karakternya yang buruk, ia merusak mentalitas dirinya sendiri. Jadi bisa saja anak yang pintar, belum tentu ia bahagia. Jangankan kebahagiaan, kesuksesan saja ternyata tidak sepenuhnya berkorelasi dengan kepintaran.

Lebih tepatnya, penelitian Clifton dan Ruth ingin menjelaskan, kesuksesan tak ada hubungan sama sekali dengan kepintaran dengan ukuran IQ. Karakter-moralitas yang positif, menjadi emosi positif yang membangun kebahagiaan dan kesuksesan itu. Jadi anak-anak pintar dengan karakter tertentu berpeluang menjadi lebih bahagia, dibandingkan anak yang kurang pintar, tanpa karakter positif.

Pintar dengan dukungan karakter

w644-620785dabb44866b4f210af5.jpg
w644-620785dabb44866b4f210af5.jpg
linetoday

Masih ingat dengan cerita " sekolah rimba", ketika kucing, bebek, diharuskan melakukan kegiatan yang sama. Memanjat, berenang, terbang. Apa yang terjadi, kucing yang mahir memanjat, tidak berdaya ketika harus berenang, apalagi terbang.

Demikian juga bebek, ketika harus memanjat. Mendorong mereka menjadi lebih pintar dengan cara tidak bijaksana, yang memaksa (push parenting atau pusch teaching) mengakibatkan anak-anak kehilangan peluang untuk memiliki karakter yang mendukungnya untuk bahagia dan pintar.


Anak kehilangan kemampuannya, untuk mengontrol dirinya sendiri, kejujuran dan integritas, tanggungjawab, dn kesiapan menghadapi perubahan dan keterbukaan ide-ide baru.

Karakter harus dibangun dalam proses yang panjang dan lama, baru bisa terinternalisasi menjadi "habit". Butuh kenyamanan bukan "tekanan" seperti kisah "sekolah rimba". 

Tekanan-tekanan akibat proses belajar mengajar yang kaku di se,kolah, di rumah dan dalam lingkungan bermain menganggu Self esteem atau harga diri anak-anak sebagai syarat utama  pendidikan membangun karakter.

Sistem pembelajaran konvensional di sekolah  yang menempatkan guru sebagai "penguasa" yang tidak dapat dibantah, mengkritik, memaksa, bahkan mengabaikan anak-anak adalah salah satu kesalahan laten yang juga berkontribusi menyebabkan hilangnya anak-anak pemberani yang dengan cepat dapat bereaksi untuk menunjuk tangan jika di beri kesempatan bertanya,kehilangan karakter positifnya.

Pernahkan kita menyadari mengapa guru-guru kita kebingungan, ketika anak-anak menjadi vacum dikelas?.  Sejak lama, anak-anak telah kehilangan self esteem-harga diri, sebagai seorang anak-anak yang merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun